Sunday, March 28, 2010

Binahong, herbal obat luka


Senangnya punya rumah praktek dengan konsep tamu-tamuan, bisa sambil barter pengetahuan dengan pasien ataupun keluarganya. Tahu saya senang dengan sesuatu yang alamiah ,u ibnya Yusuf, (Yusuf pasien remaja saya), saya ditawari Binahong.

Yusuf dan ibunya menyebutkan sebagai Minahong, namaBinahong saya dapati saat jalan-jalan di Google. Ternyata berasal dari Cina , nama Cinanya teng san chi. Nama kerennya Anredera cordifolia (Ten.) Steenis.

Nama tanaman ini tersebut setelah kami membicarakan tentang daun saga yang rasanya seperti obat batauk. Ibunya Yusuf menyebutkan Binahong juga tanaman obat untuk paru . Dikunyah 11 lembar sehari, penyakit paru adiknya sembuh dalam seminggu. Mengapa sebelas lembar, saya belum tanya, tetapi ayahnya Yusuf mengatakana, obatnya keras bu dokter.


Selain untuk obat paru, keluarga Yusuf menggunakan untuk obat luka, bahkan luka setelah khitan.

Saat berbincang dengan pasien di rumah sakit saya gawe di pagi hari, siibu menggunakannya sebagai obat penyakit kulitnya.

Tanaman ini konon banyak dipekarangan, sebagai tanaman liar merambat, atau bila dibudi dayakan, dirambatkan pada Gazobo.


Tanaman saya masih kecil, senang juga ya punya gazebo dengan tanaman obat.

Sunday, March 21, 2010

Hotel Majapahit (alias Yamato alias Oranje)Surabaya



foto Presidential suite dari arah kamar yang saya inapi.

Undangan berbicara pada workshop, di Surabaya, hotel Majapahit, awalnya saya terima dengan biasa- biasa saja. Ngga pernah (merasa) dengar hotel Majapahit, malah sempet saya cari info, di mana (posisinya) ? Dari pokoknya hotelnya sama dengan tempat harus bicara, saya menjadi males kemana-mana, nyaris setiap jengkalnya patut di abadikan .

Hotel di jalan Tunjungan ini awal muasalnya bernama hotel Oranje. Dibangun tahun 1910, jaman londo-londo masih jadi ndoro tuan gitu, ya cocok saja. Berubah jadi hotel Yamato saat pendudukan Jepang di Indonesia. Pada kisah- kisah sekitar kemerdekaan , ada cerita heroik, perobekan warna biru (pada ) bendera Belanda, yang terjadi di hotel Yamato. Wah, saya menginap di hotel bersejarah. Rasanya jadi kurang menginap selama tiga malam (sejak 18 Maret 2010) . Bangunan bersejarah yang sangat terpelihara ini, sejak Desember 1996 telah menjadi “ a national Heritage Landmark of Indonesia”. Saya mendapat kamar nyaris berseberangan dengan Presidential suite. Hotel berkamar 143 ini luas kamar terkecilnya 38 meterpersegi, Presidential suite merupakan kamar terluas, 800 meter persegi.

Sekitar pertengahan tahun ini hotel bintang lima ini menyambut usianya yang ke 100.

Rujak (Mercy) Cingur Peneleh- Surabaya





Berpeluang ke Surabaya akhir minggu ke tiga bulan Maret ini , saya upayakan mencari rujak cingur Madura. Penasaran saja , karena Juli 2009, saat menelusuri jembatan Suromadu, pada ujung jembatan di pulau Madura, ada gubug- gubuk betuliskan rujak cingur Madura. Menurut ibunya Yusuf , (Yusuf pasien di rumah praktek saya) yang berasal dari Bangkalan, pada rujak Madura , ditambahkan ulekan kacang tanah.

Perburuan di mulai sejak seminggu sebelum saya ke Surabaya . Lewat Black Berry Messengger (BBM) , dari seorang teman dokter Surabaya, saya mendapatkan alamat rujak cingur Peneleh, yang pada pesannya dituliskan merupakan rujak cingur termahal, Rp 50.000 per porsi . He he, penasaran tentang harga rujakcingur, saya minta sulung membelikan rujak cingur pak Hadi dijalan Wahid Hasyim , Jakarta . Rujak cingur pak Hadi ini rp 18.000 per porsinya. Teman lain di Surabaya mengatakan, rujak cingur Paneleh mendapat julukan rujak Mercy, karena pembelinya datang dengan kendaraan mewah. Sebelum sampai di Surabaya , info bertambah, harga nya turun, jadi Rp 35.000,- katanya porsinya diperkecil.

Sabtu siang, di antara 2 (dua ) workshop yang saya ikuti, saya mengganti lunch di hotel dengan rujak cingur Peneleh. Saya datang pk 12, diantar seorang dokter muda , lengkap dengan sang suami, karena sang suami juga penasaran dengan rujak yang harganya kok (bisa) turun. Kami bukan pengunjung pertama, menurut ibu pemilik sekaligus pengulek, sebelum kami beberapa dokter sudah datang. Wah, karena sebelumnya saya juga heboh bertanya melalui milis, para dokter peserta workshop yang lain penasaran juga.

Rujak cingur Peneleh buka mulai pk 11, nggak ada tulisan apa-apa, menempati satu dari tiga ruko berdempetan pada satu halaman. . Alamat tepatnya jalan Ahmad Jais no 40, tetapi lebih terkenal sebagai rujak cingur Peneleh . Kalau di tanya jalan Ahmad Jais , malah ngga ada yang tahu. Tempatnya kecil saja, hanya ada tiga detetan meja, sisi kiri dari luar, dua meja yang menempel dending dengan empat kursi , sisi kanan 2 meja , masing-masing dengan 2 kusi, sedangakn di tengah 2 meja panjang digandeng dengan enam kursi .



Saya lupa bertanya nama pemilik sekaligus peramu, menurut beliau, ini ya rujak cingur, ngga ada kaitannya dengan Madura. Kami pesan tiga porsi, langsung diulekkan dulu kacangnya , banyak lho. Suami yunior saya memesan yang matengan , ternyata berarti isinya (hanya) sayuran yang di rebus tahu dan tempe , tanpa buah-buahan. Rujak cingur selain dedaunan yang direbus, tahu dan tempa,juga diberi irisan bengkoang, mangga muda .




Ummm, memang mantep, tempenya tempe goreng yang bulat- bulat, cingurnya betul-betul menunjukkan kelasnya sebagai rujak cingur. Saya ngga tahu , apakah rujak Peneleh ini memang tanpa lontong, lha ngga pake lontong saja sudah kenyang, kalau ngga mau disebut kekenyangan.



Plus kriuk- kriuk krupuk putih berdiameter 10 sentimeter, isi empat tiap bungkusnya, sungguh mengobati rasa penasaran.
Pada dinding ada foto ibu pemilik dengan Wiliam Wongso, dan beberapa foto lain. Rupanya rujak cingur Peneleh ini sudah dikunjungi para pengamat kuliner kaliber nasional (atau internasional ya).






Teman yang lain memilih rujak cingur di Genteng, Rp 8000 per porsi. Saya belum sempat ke Genteng.


Monggo, pilih yang mana?

Surabaya memang (antara lain) jajanan khasnya rujak cingur…..

Wednesday, March 10, 2010

Puti-putih bukan melati



Nyaris setiap hari menyusuri kali yang memisahkan Pasar Rumput dengan jalan Latuharhari, sungainya saya susuri sejak keluar Pejompongan . (terpaksa) menjadi perhatian, mulai dari halte angkutan air yang hanya dua , digagas saat akhir masa Gubernur Sutiyoso.
Kini halte yang depan hotel Shangrila sering menjadi tempat “mancing”. Mancing ikan beneran hingga pemulung memancing plastik lewat. Sedangkan halte yang satunya Halte Halimun, kini ada pos warna merah , disponsori Coca –Cola, bernuansa merah , ada tulisan besar Jakarta Clean. Ada bak besar permanen, seperti yang terpasang pada mobil sampah tetapi ada penghubungnya ke tong biru di bawahnya . Perahu karet terkadang tersandar, sepertinya secara berkala sungai dibersihkan. Pernah saya dapati mobil sampah DKI , dicat dengan karakter yang sama dengan halte Halimun.
Pada foto, yang saya ambil saat melintas dijembatan, Nampak bangunan merah pada sisi kiri, halte Halimun. Yang putih –putih di sungai, sampah plastik.
Coca–cola pada penelusuran saya memang sering berperan. Bagaimana kita, agar tidak ada 'putih -putih bukan melati' di sungai?

Berkah dan Musibah


Foto ini gambaran peristiwa sungai yang merupakan bagian kanal banjir Barat, yang saya lewati nyaris tiap hari. Kali ini saya ambilkan sebelum jembatan layang Karet. Ini merupakan lokasi pemancingan ikan dan sampah setelah halte dekat hotel Shangrilla. Airnya mengalir dari arah Manggarai ke Karet. Sampah plastik yang lolos dari halte Halimun, dan halte dekat hotel Shangrila , di tangguk di “jembatan” ini Semoga tampak jelas, lokasi pemancingan ini besi melintang di atas sungai , menurut asisten wara- wiri, besi ini pelindung kabel yang melintas sungai . Setiap pagi saya lewat, banyak juga onggokan sampah plastik. Terkadang sudah dalam karung- karung, artinya jumlahnya banyak juga. Pernah saya jumpai , ada mobil bak terbuka , “menjemput” sampah palstik yang sudah rapi dalam karung.

Sampah plastik di sungai yang menurut saya musibah, ternyata berkah untuk beberapa orang.

Berkah dan musibah merupakan dua sisi mata uang.

Saturday, March 6, 2010

Warung Keroncong Gaul



Undangan makan siang bersama teman lama, pk 13.00 di Wrung gaul. Saya iyakan saja, biar ada yang saya tulis d akhir pecan ini. Meski undangan hari Sabtu, saya sudah mengatakan sangat terlambat, karena gawe dulu.

Sekitar pk 14 gawe poliklinik dan sebagian ruangan baru selesai, saya meninggalkan rumah sakit di kawasan Petamburan menuju Jln TB Simatupang. Beruntung saya mengajak asisten penelitian saya, dr Lulu, yang segera mengakses dengan BBnya. Tampak lokasi Warung Keroncong gaul , lengkap dengan fotonya.

Warung ini berlokasi di Jln TB Simatupang Raya . pada petunjuk lokasi, disebutkan bila dari sisi Citos, lurus , berbalik arah, lokasinya setelah Cwie Mie. Jalan tersendat, saat di depan Citos, saya menengok ke sisi seberang, tampak tulisan berdasar kuning: Warung Keroncong gaul.

Warung ini (ternyata) berkonsep Pujasera, sehingga ada pondok-pondok kecil disekitar bangunan utama. Pada pondok-pondok kecil ini juda dimasaka berbagai makanan, antara lain soto kwali, mie ayam, soup dan steak.

Para teman sudah selesai bersantap, saya memesan bebek cabe hijau. Rencananya sih difoto dulu, lupa, lha saya sudah lapar sekali. Licin tandaslah bebek yang renyah , garing dan masih ada dagingnya. Ini penting buat saya, karena ada yang renyah, weh , dagingnya nyaris tak ada, seperti mummi, dagingnya tinggal yang melekat di tulang.

Makan sambil berbincang, hujan deras mengguyur. Tepat sebelum hujan menjadi sangat deras, datang beberapa pinisepuh berseragam. Para sepuh berseragam ini ternyata dari legion veteran yang berkantor di jalan raden intan (?), dan bernyani keroncong, diiringi organ tunggal dan dipandu penyanyi . wah, ini rupanya yang membuat warung ini menyandang nama gaul.

Lagu- lagunya lagu keroncong. Warung ini konon milik penyanyi kreoncong yang kondang Titu Tri Sedya.

Ada tulisan dan tanda tangan di dinding, antara lain Kris Biantoro dan Dedi Dhukun.

Makan kami tutup dengan kopi jahe, yang cocok dengan hujan yang deras. Dua orang teman ikutan nyanyi. Gaul poll pokoknya. Gentian para sepuh legion veteran bertepuk tangan. Wong temen kami dr Eva suaranya apik tenan.

Saat pulang saya disanguni kartu nama dan menu. Ibu cantik paruh baya yang di kasir bernama bu Bambang. Sambil memberikan kartu nama, ibu Bambang berbisik, agar kami tidak lupa mengisi kotak kecil didepan “panggung”, untuk musisi.

Buat ayah saya , saya membawa pulang gurami asem manis, sedang untuk ndoro kakung, 2 CD. Mus Mulyadi dan Tuty Maryati (nama kini Tuty Tri Sedya) masing –masing berharga Rp 15.000 dan Rp 35.000,-

Nah, yang ingin jalan- jalan dan makan sekitar Citos, ada tempat aneka makanan, tepat di depan gerbang pintu belakang RS Fatmawati.

Plus bisa menampilkan kepiawaian menyani (keroncong).