Thursday, June 17, 2010

Kisah Menteng Jakarta Pusat : Akankah rumah “eyang” hilang?



Ada rumah cantik, didominasi warna putih, berpagar putih (kini) tinggi, di jalan Ki S Mangunsarkoro yang dulu dan kini masih banyak yang mengenalnya sebagai jalan Jogya. Rumah yang (dulu) sering menjadi tempat lokasi pengambilan film layar lebar dan iklan obat batuk. Penuh dengan bunga, sungguh rumah “eyang” yang adem.

Rumah ayah saya, terletak pada jalan yang sama, tetapi lebih mengarah ke Mesjid Sunda Kelapa. Meski tidak penuh dengan bunga, dan angsa yang tak ada lagi sejak ibu tiada , buat saya tetap adem. Gawe di rumah sakit yang sedang berupaya menanggalkan predikat sebagai puskesmas raksasa, singgah di ayah saya pagi dan petang sangatlah mudah. Senang saja melihat senyum ayah saya yang berusia yang ke 88.

Kebayang donk, rumah juga sudah bertambah umur, merenovasinya bukanlah hal yang mudah. Bocornya mengharuskan atapnya secara keseluruhan harus diangkat, tetapi terpaksa ditambal sulam saja, karena ayah saya tidak bersedia “mengungsi”. Pagarnya sudah lebih tinggi dari aslinya dulu, tetapi tetap kalah tinggi dengan para tetangga. Lambat , tetapi (mungkin) pasti, Menteng akan berubah wajah. Saya seperti melihat rumah masa kini dengan dua bahkan tiga lantai , berpagar sangat tinggi di antara rumah “sepuh”. Seingat saya, belum sepuluh tahun lalu masih ada rumah seorang professor di dekat Taman Suropati yang tidak berpagar, dan satu rumah dokter di jalan Solo , juga tanpa pagar.

Jaman dulu, pasti aman dan asri. Sekarang, burung dara sekandangpun pernah lenyap dari rumah ayah saya di pagi hari, saat subuh belum lama hadir. Tangga lipat aluminium lenyap,di tengah hari bolong di akhir bulan puasa, saat tukang cat turun dan beranjak ke halaman belakang rumah. Tadi siang saya lewat rumah almarhum H Adam Malik, mantan Wakil Presiden era pak Harto. Rumah yang dulu cantik dan pernah menjadi museum tampak tak terawat. Banyak rumah di kawasan yang tetap merupakan kawasan elite ini berubah bentuk. Pemiliknya mungkin sudah tiada atau menjadi sepuh, kalau tidak terbengkelai, rumah berpindah tangan, dan berubah menjadi rumah masa kini yang tidak meninggalkan bentuk lamanya. Upaya menjaga keaslian oleh pemerintah daerah tampaknya ada, ada rumah di pertemuan jalan Diponegoro- jalan Surabaya yang di segel, entah apa tulisan pastinya, sepertinya disegel karena ditengarai merusak bangunan asli. Apakah akan berhasil ? Mantan nomer satu di DKI Jakarta Raya pun merobohkan dan mendirikan bangunan bertingkat di arah depan rumah ayah saya.

Ayah saya tidak mau meninggikan pagarnya , meski kini tampak kerdil di antar pagar tetangga, meski pernah dilompati orang dua lebaran lalu. Ayah saya senang duduk di teras, menunggu kami singgah, paling tidak melambai saat saya sengaja lewat menuju gawe. Pagi hari menunggu ketupat sayur, siang hari es , sore hari gorengan , malam hari tukang sate ayam lewat.

Saya prihatin bukan untuk rumah ayah saya, tapi rumah para "eyang" yang lain. Rumah cantik putih yang saya ilustrasikan di awal, sudah sejak lama ditawarkan. Dijual karena pajaknya tinggi. Konon pemiliknya merasa "terlalu" berat. Namun tak laku- laku. Apa karena ada persyaratan dari pemerintah cq Dinas tatakota ( atau dari pemiliknya)?. Ada beberapa rumah yang beralih kepemilikan , di robohkan dan jadilah "Kelapa Gading". "Pondok Indah". Tembok tebal massive, dinding tinggi. Saya kehilangan Menteng yang saya kenal.

Apakah kami nantinya bisa menjaga rumah ayah kami, sehingga para cucu tidak kehilangan “rumah eyang” ?

Taman Safari Indonesia- Cisarua : Seri leyeh-leyeh







Monday, June 14, 2010

Lunch Time gajah di Taman safari Indonesia Cisarua





Taman Safari Indonesia- Cisarua : Dalam foto















Taman Safari Indonesia- Cisarua :Gajah , duduknya kapan?







Hari sabtu di akhir minggu ke 2 bulan Juni 2010, dengan pasti dirancang untuk ke Taman Safari Indonesia – Cisarua. Niatnya berangkat sepagi mungkin, pk 6.00 paling tidak. Lha selain bangun kesiangan sehingga pk 6 belum mandi, asisten wara-wiri juga tidak diberi “wangsit” malam sebelumnya, sehingga datang mendekati pk 7.00. Nyaris tiap hari berangkat sebelum pk 6, asisten wara-wiri memanjakan dirinya dengan hadir lebih siang di hari Sabtu. Jadilah bungsu dan saya di antar asisten wara-wiri berangkat pk 7.30.

Di daerah Ciawi - Gadog mulai berjumpa dengan bis- bis, ada rombongan sekolah, ataupun rombongan keluarga dengan beberapa mini bus, yang diberi nomer. Rupanya menjelang liburan sekolah, rame-rame menutup tahun pelajaran dengan berwisata. Keramaian ini membawa keberuntungan, sebelum sampai Cibulan, arah dari atas ditutup, sehingga kami melaju cukup cepat. Setelah RS Cisarua, segera belok kanan, tampak mobil yang dari arah taman safari dihentikan di ujung jalan menuju Taman safari Indonesia. Tulisan tidak boleh memberi makan hewan sudah nampak, begitu juga tulisan besar- besar menyebutkan kantong dan tali pastik bisa membunuh hewan.

Anak lain berwisata, anak sekitar taman safari bermain sambil berjualan. Seorang bocah membawa es tungtung pada roti tawar, di pegang dengan tangan kiri, menawarkan wortel di tangan kanan. Santai saja, wong anak-anak, tetap gembira. Wortel diikat-ikat, ditawarkan, saya ngga tahu harganya, ngga beli, menghormati tulisan jangan memberi makan hewan. Wortel –wortel ini hanya ada pada ujung jalan, masih jauh dari lokasi.

Sampai di gerbang Taman safari sudah menjelang pk 11, bis- bis di arahkan pada sisi loket kanan, kendaraan kecil pada sisi kiri, yang naik motor parker untuk kemudian naik bis yang disediakan Taman Safari Indonesia- Cisarua. Untuk rombongan ada reduksinya, kalau ngga salah 30 %. Kami bertiga dan satu mobil membayar retribusi Rp 195.000,- Diberi peta dan jadual acara pertunjukan.

Wuih, serasa kebon binatang milik pribadi…. Lewat kuda nil di ujung awal yang tak sempat saya abadikan, karena salah perkiraan. Semua mobil pengunjung merapat ke kanan jalan. Saya, bungsu dan asisten wara-wiri ke arah kiri, biasanya kuda nilnya ada juga di sisi kiri. He, kosong. Namun , kekecewaan saya segera terobati oleh kelompok gajah, yang meski besar , tetapi manis (menurut saya). Gajah itu istilahnya berdiri atau merangkak ya? Saya cukup lama mengamati dan membuat foto kerumunan gajah, kok tetep tegak ya, ngga ada yang duduk.


Saya agak ragu apakah bisa menemukan yang special, biasanya saya datang pagi-pagi kalau perlu berhenti dulu di parkiran menunggu gerbang buka. Eh, ternyata , selalu ada yang istimewa yang dapat diabadikan. Yang saya amati, kehijauannya terjaga. Kesan “liar” yang teratur. Dibuatkan “padang” rumput setengah lingkaran untuk hewan santai , dengan batas belakang pohon bambu-bambuan. “Pohon” dari semen(?) , cukup kuat menopang leopard yang santai, dan kambing gunung mendaki. Banyak hewan muda, rupanya penangkaran berjalan dengan baik. Saya dapati anak unta sedang menyusu pada induknya.


Nyaris semua binatang makan wortel, yang terutama diberikan pengunjung dalam mobil keluarga. Yang di bus tidak bisa, jendela bus rapat. Mungkin oleh karena itu hewan pemakan wortel, disebar nyaris di semua area, kecuali area harimau dan kawan-kawan. Harimau dan kawan –kawan areanya sedang di renovasi, saya tidak melihat singa-singa yang tiduran, entah diungsikan ke mana. Lagian, kalau kijang ditaruh di kawasan harimau, disantap mungkin. Bus- bus dan kendaraan lain sekedar melewati hewan sepanjang perjalanan menuju amusement park. Mobil kami hanya ditemani dua mobil lain yang juga setia berhenti. Kami memfoto, kendaraan yang berisi anak expatriate dan pengasuhnya, sibuk memberi makan hewan. Ada saat yang mengkhawatirkan, si boy berusaha melempar panther yang tidur dengan wortel. Segera para pawang yang berjaga berseru : “No”…. Kalau panthernya ketimpuk, ngapain ya. Ngamuk? Mobil yang satu lagi, saya yang ingin menimpuk, lha muatannya orang dewasa semua yang merokok semua.

Di area orang hutan, seekor orang hutan di “usir” pawangnya karena terlalu dekat dengan jalanan. Orangutan menjadi sensi, pergi dengan wajah tak rela…He he, sementara dua ekor yang perutnya bunder, duduk terjelepak, menikmati wortel. Siamang berayun diatasnya , dan seekor orang hutan bulu merah yang lain memandangi dari ketinggian, berganti posisi, dari tengkurep, hingga terlentang. Eh, yang menonton yang mana ya?


Nyaris dua jam kami menyusuri jalan, menambah koleksi foto kami. Burung hantu dalam ceruknya, selalu saya bidik. Banteng yang gagah, kijang yang manis dengan tanduk yang hampir tumbuh. Lho, ada gajah dengan pengunjung sebagai muatannya masuk air. Mirip di Taro – Bali.


Lapar? Banyak resto dekat dengan tempat parkir , tinggal pilih. Saya memilih di parkir B, karena saya bisa makan sambil memandangi gajah. Saya amati, gajahnya ngga pernah duduk. Ada dua ekor gajah yang sekarang di beri tugas sebagai gajah tunggang. Seingat saya, dulu ada juga pertunjukan gajah di area ini. Seekor gajah (mungkin) menghibur dirinya sendiri, kali depan yang kanan dinaikkan ke atas “meja”, kemudian belalainya melingkat di angkat.

Saya makan sekitar pk 13, rupanya saat gajah makan siang juga. Ada mobil bak terbulka mengirim dua ikat daun seperti daun tebu. Masing-masing dapat seikat, manis menghadapi jatahnya masing- masing. Seperti juga kawanan gajah sebelumnya, gajahnya ngga pernah duduk. Tertulis di dekat pintu, gajah dalam sehari menggunakan 18 jam untuk makan. Duduknya kapan?

Mau makan bekal dari rumah? Bisa lesehan di tikar, atau seperti sekelompok keluarga India, makan bekalnya di sekitar gajah tunggang pada kursi yang banyak tersedia.

Liburan ke Taman Safari Indonesia Cisarua , patut diperhitungkan. Kendaraan dan banyak orang tetapi tetap bersih. Ngga bakalan kesasar, petugasnya siap memandu. Toilet banyak dan bersih (menurut asisten wara-wiri). Bayar Rp 1000,- Keterangan cara mencapai Taman Safari Indonesia - Cisarua, harga ticket , permainan yang bisa dinikmati ada di www. tamansafari.com

Kali ini saya tidak sempat melihat pertunjukan apapun. Ada yang ingin saya lakukan, naik gajah, nyemplung air. Jangan duduk ya….