Tuesday, January 18, 2011

11-1-11
















Saya, nomer dua tapi juga yang pertama


.

Saya bukan kecap, jadi tak masalah saya nomer dua. Saya urutan anak ke dua dalam dalam keluarga saya, tapi saya anak perempuan pertama. Lahir dalam keluarga Jawa, tentu saja kakak saya , yang beruntung menjadi nomer satu karena urutan lahir dan laki-laki pula. Kebetulan kami mempunyai “area” kerja yang berbeda, kakak saya banyak outdoor , saya indoor alias selalu manis di rumah. Ternyata area ini disetujui orang tua kami terutama atas dasar gender. Gender yang baru terbit istilahnya ternyata aplikasinya sudah lama berselang. Gender adalah perbedaan laki-laki dan perempuan secara sosial, masalah atau isu yang berkaitan dengan peran, perilaku,tugas, dibebankan kepada perempuan dan laki-laki. Istilah “gender” diperkenalkan untuk mengacu kepada perbedaanantara perempuan dan laki-laki tanpa konotasi-konotasi yang sepenuhnya bersifat biologis. Rumusan gender merujuk pada perbedaan-perbedaan antara perempuan dengan laki-laki yang merupakan bentukan sosial.

Kala dulu keluar negri bukan semudah sekarang, saat ada kesempatan orang tua saya pergi, prioritas yang ikut ya kakak saya, sehingga saya bertekad, saya harus bisa ke luar negri dengan kemampuan saya sendiri, terlaksana, kalaupun saya pergi, sebagian besar dari dana yang saya upayakan sendiri. Beberapa hal terjadi saat saya kecil, mencerminkan ketidak setaraan gender dalam keluarga Jawa, dan saya “melawan” dengan mimpi saya. Bila saya kini dokter yang spesialis dan konsultan, master kemudian doktor, karena saya selalu punya mimpi dan memelihara mimpi saya hingga terwujud, tidak hanya mimpi blebar-bleber ke luar negri dengan uang sendiri.

Siang tadi saya mengantarkan ayah saya mengunjungi adik bungsunya, berkali-kali ke duanya berbincang gembira: Anak perempuan kita doktor ya…., anak perempuan lho.

He he, saya nomer dua, tapi nomer satu.

Sunday, January 16, 2011

Seperempat hari di Malang: (sarapan) Pecel dan (makan siang) Rujak cingur


Akhir pekan, menengok adik landes ayah saya yang sedang rawat inap di rumah sakit di Malang, tiba pagi hari, dengan pesawat terpagi suatu maskapai penerbangan, disambut sepupu dengan pecel. Ha……., pucuk dicinta ulam tiba. Sayurnya yang pas matangnya, pas banyaknya, pas nasinya, pas untuk mengisi lambung pagi hari.

Konon dipesan sepupu dari Warung Payung di kawasan Danau Kerinci Sawojajar. Namanya Warung Payung karena sebelumnya dijual dengan sepeda ontel, pakai payung supaya penjualnya ngga kepanasan. Pecel disajikan disertai 2 potong rempeyek dan sepotong perkedel, perkedel jagung , konon terkadang juga tempe. Cerminan, keuletan membawa kemajuan, dan meski hanya dipinggir jalan, dan dimulai dari sepeda ontel, mutu sayurnya terjaga.

Makin sah karena makan siangnya rujak cingur. Rujak dipesan lewat sms dan hp salah seorang sepupu di penjual rujak. Ada terminologinya lho, matengan atau campur, matengan artinya sayur (saja), sedangkan campur berarti plus buah. Cabe? Ini mesti disebut angka, nol artinya tanpa cabe, dan selanjutnya suka-suka, “range” para sepupu antara satu hingga enam, yang nol saya dan suami seorang keponakan. Pemesanan ditambah terminologi lain, dengan lontong atau nol (tanpa lontong). Dulu saat dibungkus daun dan diikat karet gelang, penjualnya akan mengatakan: cabe sekian , karetnya satu, yang cabe sekian karetnya dua. Saat pesanan datang, saya dapati dikemas pada styrofoam. Teratas, pada tutupnya ditulis: cabe nol, lontong nol. Nah, ini yang pesanan saya.

Pemesanan dalam jumlah banyak dan semua ada permintaan khusus, meyebabkan kebingungan penjualnya, jadilah semua tanpa buah. Wa…., sepupu saya kecewa berat, “pencit-e (mangga muda) enak lho…..” Tampak sayur yang segar, petisnya di pisah. Saat saya kecil tentu beda, petis di aduk bersama sayur dan saat sebelum daun pisang pembungkus ditutup, disertakan cabe rawit utuh diletakkan paling atas, : “Kersane mboten mambet angin” (biar rujaknya ngga bau angin) jelas penjualnya …….

Rujak cingur dipesan sepupu, bersama dengan nasi goreng dan lontong Cap go me untuk tante yang sakit. Harga? Wah, ditraktir para sepupu. Matur nuwun di Ata, detik-detik terakhir sebelum “terbang” kembali ke Jakarta, dapat rujak cingur. Uennak tenan…….

(catatan: belum dapat info di mana rujak cingur dipesan. Mengingat rumah sepupu sekitar jalan Ijen, kemungkinan sekitar jalan Ijen).

Saturday, January 1, 2011

Catatan kecil nonton wayang orang Bharata malam Tahun Baru 2011






Apa saya penggemar wayang orang ? Entah, tapi saya senang dengan budaya Indonesia , keris almarhum mertua , tenang-tenang di rumah praktek dan setiap Suro bisa jadi sarana mengundang kerabat dan sahabat. Sekarang batik ibu siap di katalogkan. Malam menjelang tahun baru 2011, pertunjukan mulai pk 20.30, takut terlambat pk 18 tepat kami sudah menuju gedung pertunjukan di Jalan Kalilio, wilayah Senen Jakarta pusat. Desember hari terakhir jatuh hari Jumat, jadi masih gawe, asisten wara-wiri saya minta survey lokasi, agar malam hari tidak cenanak-cenunuk. Saya baru pertamakali menonton WO Bharata di gedung wilayah Senen, dan ini menonton yang kedua kali WO Bharata. Yang pertama digedung kesenian wilayah pasar baru.

Saya biasanya cuma lewat dan memandang gedung dari kejauhan, karena datang saat masih “sore”, mobil bisa parkir tepat di depan gedung, turun dari mobil disambut tiruan reco / patung gladag, yap, langsung mejeng dekat patung, dan memfoto papan acara pertunjukan yang tepat di belakang patung. Masuk lewat pintu, tampak suasana yang bersih nyaman, dan penting untuk saya, gedungnya dengan label dilarang merokok, ……… lega. Masuk arah kiri, loket, ngga ada antrian, karcis dipesan lewat telp, pengunjung tinggal ambil saja ticketnya, sulung saya mengambil satu hari sebelumnya, janjian dulu. He he, system kan banyak, PSSI kok ngga bisa inovasi biar ngga ribet ya? Ke kanan toilet, bersih…., aman. Sambil menunggu, melihat buku-buku yang dijual, ada ensiklopedi wayang, prombon jawa lengkap, saya memilih urip ora gampang, ada kata bjak pujangga Jawa Ronggowarsito yang ingin saya kutip pada ringkasan disertasi saya.

Kursi di ruang tunggu sedikit, pintu ke ruang pertunjukan dibka jauh sebelum acara di mulai, jadi saya bisa membuat fotot dan berbincang dengan pak Yunus. Ruang bersih, teratur, kursi bisa dilipat, pada sisi kepala bungkus seperti kursi di pesawat dari batik. Bangku bergradasi turun, 8 deret dari depan A hingga F, merupakan bangku VIP, dan 8 deret berikutnya kelas satu, serta ada balkon. Hati biasa VIP Rp 50.0000, khusus tahun baru Rp 100.000,-. Bangku-bangku bernomer, jadi ngga perlu sibuk, plus ada pemandu yang menunjukkan tempat duduk. Sulung belum datang, tetapi pak Yunus mengenali kami, “Keluarga mbak Olly ya? Monggo, boleh kok, masuk.” Wah, serasa bertamu ke rumah kerabat. Sambil membuat beberapa foto, saya bertanya kepada pak Yunus tentang sejarah gedung. Menurut pak Yunus, tadinya gedung perbekalan jaman Belanda, kemudian menjadi gedung Bioskop, Rivoli namanya. Saya lupa kapan gedung ini menjadi tempat pertunjukan, tetapi kalau tidak salah mulai tahun 1962. Nanti akan saya tanyakan lagi.

Datang mulai sore, saya tidak takut kelaparan, sulung sudah member info, makanan bisa dipesan dan di bawa masuk. Benar saja, makanan dan minuma bisa di pesan sepanjang pertunjukan, di antar, sebelum pertunjukan saya membeli minuman dan makanan kecil, Rp 20.000,-, kemudian saya memesan mie goreng, rp 10.000, buku yangsaya beli rp 40 000. Jadi buku dan makanan kurang dari 100.000.

Pak Yunus menginformasikan, synopsis sedang dicopy saat mengantar kami ke tempat duduk, synopsis dibagi sebelum pertunjukan di mulai, ada running text yang cukup membantu. Gamelan sudah dimulai sekitar setengah jam sebelum pertunjukan.

Pertunjukan dimulai dengan disebutkan dulu siapa sutradara dan para pemain, saya lebih suka menyebut sebagai pendukung acara. Banyak nama disebut, namun ternyata memang pertunjukan wayang orang melibatkan banyak pendukung.

Pertunjukan dimulai dengan tari pembuka, ditarikan anak-anak, ini mungkin upaya regenerasi, namun saya dapati penari yang tergolong anak-anak, gembira dan melakukan dengan sepenuh hati. Adegan dimulai dengan pusat kisah, Dewi Durgandini. Sepanjang pengamatan saya , Dewi Durgandini diperankan oleh dua orang, pergantian terjadi saat Dewi Durgandini berjumpa dengan prabu Sentanu, ndoro kakung yang lebih dulu menyadari pergatian pemeran. Ho, ini dia, mengapa pada running text di tulis flash back saat kisah Dewi Durgandini berjumpa Palasara, jalur utama cerita ya saat Dewi Durgandini jumpa Prabu Sentanu. Pemeran diganti dengan yang tampak usia lebih matang, namun ternyata memang pemeran yang ke dua power dan artikulasinya lebih jelas tertangkap. Dewabrata yang tampil dengan tiga keadaan ditampilkan seorang pemeran, kami mengenali dari bentuk hidungnya, kostum yang digunakan cukup memberi kesan terhadap tentang perubahan waktu. Saat menjadi resi muda yang ikut sayembara memperebutkan tiga putri, kesan resi ditampilkan dengan selendang putih disampirkan pundak, sedangkan saat mejadi “orang tua “ Destrarastra dan Pandudewanata, dengan jubah dan diberi jenggot.

Kostum dan riasan memang bisa membangun kesan. Hali ini menggiring saya menemukan Semar, Petruk, Gareng dan Bagong. Gareng yang muncul duluan saya kenali dari jalannya yang pincang, karena penyakit pada kaki kanannya dan lingkaran matanya yang tidak terlalu lebar, Petruk, seingat saya harusnya kutilang alias kurus , tinggi dan langsing, saya dapati pemerannya sudah bertambah massa lemaknya sesuai usia, namun kuncirnya yang panjang membantu saya menangkap karakter Petruk. Bagong, seingat saya meski memang paling pendek, namun lebih bulat dari Petruk. Pemerannya massa lemaknya tidak sebanyak Petrul, tetapi lingkar mata yang bulat besar dan jambul dikepala yang seperti ujung kemoceng, dengan cepat saya kenali sebagai Bagong. Saat muncul, sempat mengganggu pak “pancen oye” Mantep yang hadir di akhir tahun, sindir Bagong : hadir karena ngga punya job.

Pendukung kanak-kanaknya, Abiyasa kecil, mau lho mukanya di hitamkan, biar ngga ganteng, yang jadi Destarastra kecil, yang tampil sebagai kanak-kanak buta, serta Pandu kecil dengan leher “tengeng”,

Ah, rupanya saya menonton memang bukan sekedar mengakhiri tahun, tetapi membangun kembali ingatan masa kecil, mengingat kisah-kisah Mahabharata – A. Kosasih, mengingat ikut ayah dan pengasuh menonton wayang orang di Malang ataupun di Semarang.

Saya sertakan foto kendang, yang akan ditampilkan Ki Narto Sabdo kalau ayah saya kebetulan “tertangkap” menonton Ngesti Pandowo.