Tuesday, June 27, 2017

Rumah jalan Renang Jakarta: Rejeki anak di Bogor




Tahun 1966, bapak ditempatkan di Jakarta. Kami pindah dari Malang, dan tinggal di perumahan Atlit Gelora Bung Karno, di jalan Renang. Bertetangga dengan keluarga Maskanan, orangtua sobat sejak SMP, Sri Hartini. Keluarga Hafiludin, yang nantinya berbesanan dengan keluarga Maskanan.

Foto sepertinya pada sisi kanan rumah. Tempat berjejer kamar saya dan kakak saya. Rumah dengan tiga kamar ini dibuat berpasangan, dapur berhadapan dengan dapur. Sisi lain, kamar dengan kamar.

Sisi kiri rumah yang kami diami, ditinggali keluarga Osa Maliki, tokoh PNI masa itu. Putranya entah ke mana atau di mana, seringnya hanya berdua saja dengan asisten wara-wiri dan asisten rumah tangga. Sebagai pejabat, tentunya sering menjamu tamu, pastinya banyak hidangan. Nah itu rejeki kami bertiga, kakak saya , saya dan adik lanang. Ditengarai bu Osa Maliki kamia pada masa tumbuh kembang. Lha 2 murid SMP dan satu murid SD, kalau nampak kami pulang sekolah, bu Osa Maliki bergegas ke dapur yang berhadapan langsung dengan dapur kami. Pindahlah sebagian isi dapur. Terima kasih ibu dan bapak Osa Maliki, memperindah kenangan masa kecil kami.

Pada foto nampak saya berbaju model matros, warna hijau putih, kotak-kotak seperti seragam Ursula, dengan kotak lebih kecil. Saat baru, saya pakai mengantar bapak dan ibu yang diundang Bung Karno dan bu Hartini ke Istana Bogor. Kami menunggu bapak dan ibu di luar pagar.

Dulu kok ngga gede amat ya , kompleks Istana Bogor?

Mobil Bapak: Toyota dan rambutan


Saya ceriterakan kenangan masa kecil. Kisah ini pernah saya tulis di blog saya tahun 2007. Saya kisahkan kembali, karena saya menemukan foto mobil dinas bapak. Toyota.
Saat SMP, kami masih tinggal di kompleks Gelora Senayan , bertetanggaan dengan Rudy Hartono, pada awal kariernya. Kalau sore, Rudy main disekitar rumah. Tepat sisi kiri ,rumah pak Osa Maliki, ke dua rumah kemudian Jen Sudirman, ayah pak Basofi Sudirman. Kedekatan rumah dan kedekatan ayah saya dan pak Sudirman membawa banyak kenangan, salah satunya peristiwa rambutan.


Kami sering ke Bandung, dan ayah saya senang menyopir sendiri. Pak Dirman (begitu kami menyebut), punya rumah di Bandung. Kalau kami ke Bandung beliau menitipkan sesuatu untuk putrinya , mbak Ida. Mobil kami saat itu jip Toyota, dengan pintu bukaan di belakang.
Perjalanan ke Bandung saat itu cukup lama di tempuh. Entah apa yang dipikirkan ibu Sudirman, beliau menitipkan seonggok besar rambutan, rambutan rapiah pula. Kebayang tidak, 2 murid SMP, dan 1 murid SD, duduk menghadapi rambutan di depan mata. Wah, tentu saja sang rambutan jauh dari keselamatan. Baru keluar kompleks, kami bertiga sudah mulai menyantap, ibu saya senpat marah, ayah saya bilang boleh. Ibu sampai meminta ayah saya berhenti sejenak dekat jembatan Semanggi , beli rambutan sendiri. Tetap saja yang termangsa kami lebih besar dari pasokan ibu, dan saat menyerahkan di Bandung, mbak Ida menawarkan untuk mengambil beberapa ikat. Tak perlu dua kali ditawarkan, langsung disambut ayah saya.


Lho, rupanya ayah saya juga ingin menikmati rambutan seperti yang kami lakukan sepanjang jalan, padahal kami sudah “menyuapi” rambutan sambil ayah saya menyopir.


Kurang ni ye ………………………..


( Bapak dan ibu Sudirman tetap tidak kapok, titip terus, dan kami makan terus. Jangan-jangan kirimnya banyak, karena sebagian memang untuk kami ya. Hallo Dr, dr Laila Nuranna SpOG, apa kabar).

Pada foto, jeep Toyota asli dari kisah ini.

Nampak adik lanang dan Bapak, serta ibu di dalam mobil.

Rumah kami: Jalan Renang 253 dan martabak


Pada foto pertama nampak rumah dari arah depan. Foto ke dua dan ke tiga ibu di depan rumah. Pada foto ke tiga di belakang pintu, kamar tidur bapak, ibu dan adik lanang. Foto ke lima, di belakang saya dan adik lanang kamar saya kemudian kamar kakak saya. Foto ke dua nampak jendela, yang cukup besar. jendela ini punya kaitan dengan rejeki martabak.

Terbaca nomer rumah kami 253. Saya selalu lupa, apakah nomer rumah kami 251 atau 253. Kalau kami 253, 251 rumah jendral Sudirman yang ayah pak Basofi. Bila malam tiba, tak jarang pak Dirman "berkunjung". Dengan tinggi tubuhnya, tungkai yang panjang, bila masuk rumah kami tak perlu mengetuk pintu, cukup melompati jendela, kemudian baru mengetuk. Yang diketuk pintu kamar saya dan kakak saya. Begitu kami muncul, diasongkan bungkusan martabak. kemudian beliau keluar lompat jendela lagi.

Tinggal bapak dan ibu heran, mendapati kami mengudap martabak.





Tuesday, June 20, 2017

Mobil Bapak: Toyota dan rambutan



Saya ceriterakan kenangan masa kecil. Kisah ini pernah saya tulis di blog saya tahun 2007. Saya ceriterakan kembali, karena saya menemukan foto mobil bapak.

Saat SMP, kami masih tinggal di kompleks Gelora Senayan , bertetanggaan dengan Description: http://i150.photobucket.com/albums/s92/nury_nus/rambutan.jpgRudy Hartono, pada awal kariernya. Kalau sore, Rudy main disekitar rumah. Tepat sisi kiri ,rumah pak Osa Maliki, ke dua rumah kemudian Jen Sudirman, ayah pak Basofi Sudirman. Kedekatan rumah dan kedekatan ayah saya dan pak Sudirman membawa banyak kenangan, salah satunya peristiwa rambutan.


Kami sering ke Bandung, dan ayah saya senang menyopir sendiri. Pak Dirman (begitu kami menyebut), punya rumah di Bandung. Kalau kami ke Bandung beliau menitipkan sesuatu untuk putrinya , mbak Ida. Mobil kami saat itu jip Toyota, dengan pintu bukaan di belakang.
Perjalanan ke Bandung saat itu cukup lama di tempuh. Entah apa yang dipikirkan ibu Sudirman, beliau menitipkan seonggok besar rambutan, rambutan rapiah pula. Kebayang tidak, 2 murid SMP, dan 1 murid SD, duduk menghadapi rambutan di depan mata. Wah, tentu saja sang rambutan jauh dari keselamatan. Baru keluar kompleks, kami bertiga sudah mulai menyantap, ibu saya senpat marah, ayah saya bilang boleh. Ibu sampai meminta ayah saya berhenti sejenak dekat jembatan Semanggi , beli rambutan sendiri. Tetap saja yang termangsa kami lebih besar dari pasokan ibu, dan saat menyerahkan di Bandung, mbak Ida menawarkan untuk mengambil beberapa ikat. Tak perlu dua kali ditawarkan, langsung disambut ayah saya.


Lho, rupanya ayah saya juga ingin menikmati rambutan seperti yang kami lakukan sepanjang jalan, padahal kami sudah “menyuapi” rambutan sambil ayah saya menyopir. 


Kurang ni ye ………………………..


( Bapak dan ibu Sudirman tetap tidak kapok, titip terus, dan kami makan terus. Jangan-jangan kirimnya banyak, karena sebagian memang untuk kami ya. Hallo Dr, dr Laila Nuranna SpOG, apa kabar).

Saturday, June 17, 2017

Rumah Rinjani: Serampang 12




Ini foto sebelum saya kelas 3 Sekolah Rakyat. Kala itu Bung karno melarang dansa- dansi, digalakkanlah tari nasional. Untuk pergaulan ada tari Lenso. Marak tari Melayu, Serampang 12, Tanjung Katung. Ibu les bersama teman-temannya di gedung yang kemudian menjadi setasiun RRI dan kini Graha Cakra. Sertalah saya ngekor ibu.

Kala ada tamu asing , entah dari mana, eh..para ibu malah meminta saya yang menari untuk para tamu.

Sunday, June 11, 2017

Bapak dan Jendral Gatot Subroto





Ibu dan saya: Kisah buah kersen



Ini foto di rumah Lebaksari Malang, rumah sebelum Rinjani. Ini dari sisi pintu masuk rumah yang menghadap kiri rumah. Pada sisi depan rumah, ke kanan ada pohon kersen, dengan buah kecil - kecil, yang akan merah bila matang.

Konon di suatu malam, saat saya tidur, ibu menjumpai buah kersen keluar masuk hidung saya seirama saya bernafas. Ibu segera mengambil peniti, sisi tumpulnua digunakan menark sedikit - demi sedikit buah kersen saat tampil keluar. Alhamdulillah, ibu berhasil mengeluarkan kersen dari hidung saya, meski ibu juga sudah siap membawa saya ke rumah sakit.

Saya tidak ingat peristiwa kersen, saya memang sering bermain dengan kakak tetangga, dan saya sering diberi "sesuatu" yang bulat kecil, katanya boneka saya bertelur.

Hi..hi.., saya percaya saja.

Muara Ciliwung


Muara Ciliwung

Saat ikutan jakarta Good Guide 1 Juni 2017, melewati jembatan yang melintang di atas sungai Ciliwung. Pada sisi dekat atau menjelang menuju musium Bahari, nampak sungai Ciliwung dengan sedimentasi. Konon pernah dihuni dan sudah dibebaskan, akan dinbangun taman kota, tempat bisa memandang matahari terbenam.

Guide kami mas Hians menceriterakan, dulunya muara ini bisa dilalui 10 kapal bobot ratusan ton, simultan sekaligus, yang mondar-mandir. Nampak dari jembatan kami berdiri, menara mesjid Muara Angke dan gedung dengan atap merah. He, lupa yang atap merah apa. Colek dr Rachel

Ngga bisa ikutan Plesiran Tempo Doeloe, menulis dulu sebagian cerita perjalanan lalu.



Wednesday, June 7, 2017

Bapak dan saya: Rahasia kecil kami




Fotonya gelap. Saya tidak berhasil membuat lebih jelas. Saya hanya ingin menampilkan foto mobilnya. Jangan tanya merk mobil dan tahun, saya sampaisekarang ngga pernah mengerti merk mobil dan tahun.  Saya hanya berceritera tntang rahasia kecil bapak dan saya.

Setidaknya saya sudah Sekolah Rakyat (SR), SD sebutannya saat ini. Mobil bapak seperti yang nampak pada gambar. Bapak sudah dinas luar, tidak di Malang lagi. Suatu ketika, saat bapak di Malang, di suatu sore berniat mengunjungi kakak bapak, dr Moedarso yang mukim di jalan Tangkubanprau. Saya diajak, hanya berdua. Entah di mana ibu dan kakak saya.

Apa yang terjadi, bukannya saya didudukkan di mobil, namun diberdirikan bemper mobil. Di depan. Entah di sisi kanan atau di tengah pegangan apa ya, lupa. Namun saya merasa berdiri dengan stabil. Keluar pagar rumah belok kiri, ngga jauh, mentok karena rumah kami no 6, ke kiri menuju nomer lebih kecil, belok kiri lagi menyusuri ujung taman Indrokilo, ketemu bunderan Ijen, agak belok kanan, menuju jalan yang tepat di arah depan Taman Indrokilo, sekarang ada Museum, entah jalan apa , Semeru (?). Lha, di ujung jalan belok ke jalan Semeru itu di setop seorag polisi. Tentu saja bapak di lepas, sang polisi malah memberi hormat,  pak polisi hanya memastikan saya masuk mobil. Beberapa kali kemudian saya melihat pak polisis di ujung jalan Rinjani yang nomer besar. Kantor polisinya sekarang masih ada, berseberangan dengan Taman Makam Pahlawan.

Sampai ibu wafat bapak dan saya ngga pernah berceritera ke ibu.
He, he…bahaya ya. Saat itu saya merasa oke saja.

Friday, June 2, 2017

Bapak dan bintangnya


Senang saja kalau bapak berpakaian dinas, lengkap dengan bintangnya. Bintang Gerilya merupakan bintang penghargaan kebanggaan bapak.
Ini dikenakan saat undangan 5 Oktober, tahunnya lupa