Nasi (kucing) jamblang |
Beberapa kali ke
Cirebon saya belum berkesempatan menikmati santapan khas Cirebon dengan “benar”
sehingga bisa membuat catatan. Semasa kecil, setidaknya setahun sekali kami
akan ke Surabaya pulang pergi dengan ayah yang mengemudikan, makannya di resto
pinggir laut, sekedar makan siang sambil beristirahat, tak ada yang bisa saya
kenang untuk dikisahkan. Akhir Januari
2014, dengan rombongan besar, satu setengah gerbong Cirebon Express, tidak juga
memberikan saya peluang. Saya tetap penasaran, sehingga saat para teman SMA
saya mengajak ke Cirebon di tengah hari kerja,
Selasa, 20 Mei 2014, saya cuti,
khusus untuk mengikuti sehari ke Cirebon.
Kami berenambelas dengan Cirebon Express pk 6 pagi, tiba di Cirebon pk 9 ,
acara pertama ke nasi jamblang!
Entah tepat pk 9 atau
tidak, tidak terlalu saya fikirkan, yang agak mengganggu hanya (ternyata)
Cirebon panas, sehingga air condition
(AC) dalam bus terkalahkan. Segera bus bergerak, ternyata kami berlabuh
di depan bangunan tertulis Nasi jamblang ibu Nur.
Pada penelusuran
google, saya baru ingat ada buah yang bernama jamblang, namun nasi Jamblang tak
ada kaitannya dengan buah jamblang. Konon nama ini melekat dari nama satu desa
di Cirebon bernama desa Jamblang. Terkisah, pada zaman penjajahan, nasi Jamblang dulunya merupakan nasi bungkus
yang disediakan untuk pekerja paksa. Dibungkus
daun jati, karena daun jati dengan porinya yang besar mengawetkan makanan yang
dibungkus, sehingga tidak cepat basi.
Bangunan bertuliskan “Nasi Jamblang ibu Nur, yang
beralamat di Jalan
Cangkring II No. 34 Cirebon. merupakan bangunan dua lantai, lantai pertama beruang AC dan
lantai kedua disediakan ruangan bagi yang suka merokok.
Saat saya memuat foto-foto resto nasi jamblang ibu Nur, ada komentar : “Saya
langganan tempat ini juga dok, klo ke crb.. dari mulai warung yang kecil dan
sempit sampai tingkat 2 spt ini … hehehe” . Komentar yang membuktikan tersohor
dan berkembangnya nasi jamblang bu Nur
yang buka sejak pk 7.00 pagi hingga malam, nampak pula dari penuhnya ruangan ketika kami
tiba sekitar pk 10.
Saat datang, saya belum
tahu bagaimana penyajiannya, saya tadinya mengira, kami akan duduk dan pesanan
akan dihantarkan. Memasuki ruangan yang
terpandang pertama bangku-bangku kayu panjang dengan meja panjang di tengahnya.
Menengok ke kanan, tampak meja panjang dengan deretan aluminium, ada yang
polos, ada yang berbunga, seperti yang saya kenal saat masih kecil, sarat
dengan aneka lauk. Ho, ternyata penyajian “prasmanan” dengan beberapa pramusaji
yang siap membantu. Beberapa pramusaji yang membantu memang di perlukan, karena
kalau melihat daftar menu (lengkap dengan harga) yang sengaja saya foto, terdapat 41 lauk. Piring yang dialasi
daun jati tersedia pada arah pintu masuk, segera kita disambut pramusaji yang
akan menyendokkan nasi. Kalau melihat jumlah nasinya, konsepnya seperti nasi
kucing, nasi dengan takaran yang tak banyak, kendati demikian saya dan beberapa
teman memilih meminta nasi separuh, kira- kira tiga sendok makan nasi. Setelah
itu bergerak masuk, memilih lauk. Nasi saya segera “terkubur” dalam lauk yang
saya pilih, pepes rajungan, lalu udang, kemudian cumi dengan sayurnya terong.
Setelah itu ke kasir. Ada tulisan “Maaf. Harap bayar dulu sebelum makan ya….”.
Minuman dapat dipesan
saat membayar makanan pada kasir atau tersendiri saat duduk.
Hemm….., tak bisa
berkata-kata karena saya mendapati cumi yang empuk, rajungan yang lezat, udang
yang memikat dan sayur terong berbumbu yang pas untuk saya.
Masih ada lebih dari 30
lauk yang belum saya coba, peluang untuk kembali berkunjung……..
(Terima kasih kepada bapak dan ibu Drs Tri Yuswoyo , M Sc., M.Mar.Eng.- direktur
KPLP/ Kesatuan Penjagaan laut dan pantai, Ditjen Hubla dan bapak Marnansyah SH,
KSOP/ Kepala Syahbandar dan Otorita Pelabuhan – Cirebon yang telah mentraktir
kami , 18 alumnus SMA santa Ursula)
No comments:
Post a Comment