Sabtu 7
Februari 2015, saya bersemangat ke Bandung untuk menghadiri undangan sahabat
pada resepsi pernikahan putri bungsunya. Terbaca undangan berlangsung mulai pk 11, segera
perjalanan diatur bersama asisten wara-wiri yunior dan acara sampingan dengan bungsu.
Asisten wara-wiri menganjurkan berangkat pk 7 sedangkan bungsu menganjurkan pk
6, terlaksana berangkat pk 7. Rute ditempuh dengan masuk tol Semanggi, ada
sedikit “repot”, asisten wara-wiri terpaksa menyetir mundur sedikit dari pintu
tol 1 Semanggi karena pintu tol 1 Semanggi (entah mulai kapan) tidak menerima
pembayaran tunai. Perjalanan agak tersendat, mulai km 18 mobil padat, bungsu
membuka map, tampak garis merah hingga km 27. Setelah gerbang tol Cikarang baru
mobil bisa melaju terutama pada km 60 an. Menghindari kawasan 4 in one Pasteur,
asisten wara-wiri memilih exit di Buah Batu.
Perjalanan dalam kota Bandung pastinya tak cepat, tiba di tempat resepsi,
kawasan Dipati Ukur, lewat sedikit dari pk 11. Sayup terdengar acara foto-foto
keluarga di pelaminan dan pemberian selendang merah. Masuk gedung resepsi
bersama bungsu, tak lama kemudian acara salaman dimulai. Belum pk 12 bungsu
sudah usai menikmati hidangan resepsi pernikahan Imay dan Adam. Bungsu senang
dengan steak iga dan es doger, keluar
resepsi sudah padat perutnya, mobil diarahkan ke Kedai kopi Aroma.
Saya
penggemar kopi entah sejak tahun berapa, dan salah satu kopi yang saya cari ya
kopi Aroma Bandung, tidak hanya karena rasa, terlebih mengenai sejarahnya dan
keberadaannya yang melegenda. Saya
penasaran ingin mengunjungi tempat aslinya di Bandung. Sejak lama saya tahu
lokasinya di jalan Banceuy, namun tak pernah mencari dengan serius. Bungsu mensearch dan mendapati alamat tepetnya
Banceuy 51 dekat jalan Asia Afrika, buka hati Senin hingga sabtu, hingga pk
15.00.
Masuk ke
jalan Banceuy dari arah Asia Afrika, gerai Aroma belum ketemu hingga masuk
jalan Otista. Menyusuri Otista agak jauh, bungsu menggunakan mode ask a friend, dianjurkan masuk kiri
jalan ABC. Mentok abis jalan ABC, belok kiri ketemu jalan Banceuy dengan nomer
kecil pada sebelah kiri. Segera ditemukani gerai kopi Aroma yang merupakan
bangunan kuno.
Saya
salah mengerti, saya kira ada kedai kopi
tempat bisa menghirup kopi di kedai Aroma, sehingga saya nyaris masuk gerai
lewat pintu kecl ditengah, arah saya kira kafe nya, namun segera diberitahu:
“Lewat depan bu”. Sampai depan gerai, pada jalanan agak mengkol kekiri saya
menjumpai antrian. Saya mengantri bersama bungsu sambil membuat foto seraya
mengamati ”aturan pembelian”. Tidak ada aturan pembelian minimal, kalau
maksimal saya ngga tahu, saya sempat melihat bungkusan dengan ukuran lebar
panjang dantinggi lebih dari 2 jengkal. Di
depan saya ada yang membeli beberapa bungkus hingga beberapa kilo, ada yang
membawa catatan, racikan campuran dua jenis kopi (Robusta dan Arabica). Sampai
giliran saya, saya belum tahu harganya, tapi mengamati seorang ibu depan saya
yang membawa pulang 3 bungkus, membayar tak sampai Rp 100.000, saya menyediakan
Rp 200.000. Saya meminta 2 bungkus Robusta dan 2 bungkus Arabika, ternyata
sebungkusnya berisi 25 gram kopi. Harga ke empatnya Rp 70.000,-
Tempat
antri kalau dipandang dari perspektif rumah tangga seperti pada ruang tamu,
sedangkan tempat pesanan disiapkan ruang keluarga. Beberapa “tabung” gilingan
kopi menjadi penghias dan kopi ditimbang pada timbangan putih yang menurut saya
juga merupakan benda antik. Pada bungkus kopi tertera tanggal produksi, saat
saya datang tanggal 7 Februari, tertera dengan cap 7 Februari 2015. Tercium
harum aroma kopi dan teraba hangat saat bungkusan kopi saya terima.
Pada
penelusuran Google, terbaca gerai ini telah ada sejak tahun 1930. Konon diolah
secara tradisional, dibakar dengan kayu bakar setelah disimpan selama lima
hingga delapan tahun. Bangunan kuno ini seperti 2 rumah yang disambung, mungkin
sisi yang lebih dalam merupakan gudang mengingat penyimpanannya yang lama, saya
belum sempat bertanya.
Pastinya saya akan kembalai
ke gerai koffie Aroma.
Siapa mau ikut?
No comments:
Post a Comment