Ini
eyang kami, ibu dari Bapak. Tjo, konon karena eyang kakung seorang jekso- jaksa. Nanti ya, saya tanya
Jekso di Tuban atau Bojonegoro. Masa kecil saya, eyang sering mendongeng. Ada
satu dongeng yang diulang berkali-kalipun saya tetap senang mendengarkan. Kisah
bebek dan kera. Didongengkan menggunakan bahasa Jawa, bebek menjadi sang Bibik,
dan kera menjadi sang Ketik (Ketek).
Terkisah
sesuai kodratnya sang Bibik yang bebek pastinya pandai berenang, sedangkan san
Ketik tidak pandai berenang. Apa hubungannya dengan kepandaian berenang? Pada suatu ketika, sang Bibik berlayar di
suatu sungai, dengan perahu yang terbuat dari intip (kerak nasi) dan layar dari
gereh (ikan asin). Sang ketik melihat
dari ketinggian pepohonan. Sang Ketik merayu sang Bibik untuk ikut berlayar.
Sang Bibik menolak, sang Ketik ditengarai sebagai suka makan, sang Bibik takt
perahu layarnya dimakan sang Ketik. Sang Ketik menghiba, berjanji tak akan
memakan perahu dan layarnya. Sang Ketik
ingin naik perahu.
Akhirnya
sang Bibik merasa kasihan. Diijinkan sang Ketik naik perahu dengan janji tidak
akan makan perahu dan layarnya. Berlayarlah ke duanya. Sang Bibik bersenandung:
Ri…ri..tur…praune intip (perahunya intip), layare gereh (layarnya ikan asin).
Begitu dilagukan sang Bibik berulang-ulang. Sampai suatu ketika,
Ri…ri..tur…praune intip, layare gereh…………….Krikit…krokot….Lha, ada krikit dan
krokot, karena sang Ketik tak tahan lagi. Menggigit inti lalu gereh. Sang Bibik
terkejut dan mengingatkan: Jangan Ketik, nanti perahunya karam. Sang Ketik
segera meminta maaf, berjanji tak kan mengulang.
Namun
janji tinggal janji, setelah berulang sang ketik lupa dan tak bisa menahan diri
untuk tisak menggigit perahu dan ikan asin, karamlah perahunya. Sang ketik
tenggelam, sang Bibik berenang.
Dongeng
dengan pesan moral ini saya dongengkan pada sulung menggunakan bahasa Indonesia.
Senang bisa membagi kebahagiaan masa kecil bersama eyang bersama bungsu.
No comments:
Post a Comment