Ada rumah cantik, didominasi warna putih, berpagar putih (kini) tinggi, di jalan Ki S Mangunsarkoro yang dulu dan kini masih banyak yang mengenalnya sebagai jalan Jogya. Rumah yang (dulu) sering menjadi tempat lokasi pengambilan film layar lebar dan iklan obat batuk. Penuh dengan bunga, sungguh rumah “eyang” yang adem.
Rumah ayah saya, terletak pada jalan yang sama, tetapi lebih mengarah ke Mesjid Sunda Kelapa. Meski tidak penuh dengan bunga, dan angsa yang tak ada lagi sejak ibu tiada , buat saya tetap adem. Gawe di rumah sakit yang sedang berupaya menanggalkan predikat sebagai puskesmas raksasa, singgah di ayah saya pagi dan petang sangatlah mudah. Senang saja melihat senyum ayah saya yang berusia yang ke 88.
Kebayang donk, rumah juga sudah bertambah umur, merenovasinya bukanlah hal yang mudah. Bocornya mengharuskan atapnya secara keseluruhan harus diangkat, tetapi terpaksa ditambal sulam saja, karena ayah saya tidak bersedia “mengungsi”. Pagarnya sudah lebih tinggi dari aslinya dulu, tetapi tetap kalah tinggi dengan para tetangga. Lambat , tetapi (mungkin) pasti, Menteng akan berubah wajah. Saya seperti melihat rumah masa kini dengan dua bahkan tiga lantai , berpagar sangat tinggi di antara rumah “sepuh”. Seingat saya, belum sepuluh tahun lalu masih ada rumah seorang professor di dekat Taman Suropati yang tidak berpagar, dan satu rumah dokter di jalan Solo , juga tanpa pagar.
Jaman dulu, pasti aman dan asri. Sekarang, burung dara sekandangpun pernah lenyap dari rumah ayah saya di pagi hari, saat subuh belum lama hadir. Tangga lipat aluminium lenyap,di tengah hari bolong di akhir bulan puasa, saat tukang cat turun dan beranjak ke halaman belakang rumah. Tadi siang saya lewat rumah almarhum H Adam Malik, mantan Wakil Presiden era pak Harto. Rumah yang dulu cantik dan pernah menjadi museum tampak tak terawat. Banyak rumah di kawasan yang tetap merupakan kawasan elite ini berubah bentuk. Pemiliknya mungkin sudah tiada atau menjadi sepuh, kalau tidak terbengkelai, rumah berpindah tangan, dan berubah menjadi rumah masa kini yang tidak meninggalkan bentuk lamanya. Upaya menjaga keaslian oleh pemerintah daerah tampaknya ada, ada rumah di pertemuan jalan Diponegoro- jalan Surabaya yang di segel, entah apa tulisan pastinya, sepertinya disegel karena ditengarai merusak bangunan asli. Apakah akan berhasil ? Mantan nomer satu di DKI Jakarta Raya pun merobohkan dan mendirikan bangunan bertingkat di arah depan rumah ayah saya.
Ayah saya tidak mau meninggikan pagarnya , meski kini tampak kerdil di antar pagar tetangga, meski pernah dilompati orang dua lebaran lalu. Ayah saya senang duduk di teras, menunggu kami singgah, paling tidak melambai saat saya sengaja lewat menuju gawe. Pagi hari menunggu ketupat sayur, siang hari es , sore hari gorengan , malam hari tukang sate ayam lewat.
Saya prihatin bukan untuk rumah ayah saya, tapi rumah para "eyang" yang lain. Rumah cantik putih yang saya ilustrasikan di awal, sudah sejak lama ditawarkan. Dijual karena pajaknya tinggi. Konon pemiliknya merasa "terlalu" berat. Namun tak laku- laku. Apa karena ada persyaratan dari pemerintah cq Dinas tatakota ( atau dari pemiliknya)?. Ada beberapa rumah yang beralih kepemilikan , di robohkan dan jadilah "Kelapa Gading". "Pondok Indah". Tembok tebal massive, dinding tinggi. Saya kehilangan Menteng yang saya kenal.
Apakah kami nantinya bisa menjaga rumah ayah kami, sehingga para cucu tidak kehilangan “rumah eyang” ?