Undangan ke kepulauan Seribu, tepatnya ke pulau Pramuka menjadi lebih menarik , setelah pengundang menyebutkan : “ Dok, ada penangkaran penyu di belakang Rumah Sakit”. Mulailah petualangan dengan mengojek, kununjungan ke penangkaran tukik yang berbonus pengalaman dan foto- foto tak habis seminggu untuk di tayang.
Dikatakan di belakang, ternyata tidak secara harafiah nempel plek di belalakang rumah sakit. Keluar rumah sakit pada posisi menghadap laut, kami berbelok ke kanan, kemudian ke kiri, memasuki jalan tengah di pulau Pramuka. Menyusuri jalan berpaving blok, mengarah ke pantai sisi kebalikan kedatangan, kami melewati pohon sukun yang sarat berbuah. Kripik sukun merupakan industri rumahan , disamping beberapa penganan lain.
Tempat penangkaran berpetunjuk jelas, kesan pertama, bersih, teratur. Terdapat dua tempat yang dinamai Rearering area, didalamnya terdapat bak-bak, besar kecil ,hingga ember plastic berisi tukik, atau penyu yang sudah besar. Pak Salim, sedang menemani beberapa tamu saat kami datang. Tepatnya , para tamu yang menemani pak Salim bekerja. Pak Salim, menerangkan sambil tetap mengasuh para tukik , maupun penyu yang sudah besar.
Di depan tempat asuh yang besar, terdapat meja dengan jajaran stoples , berisi telur yang gagal menetas, ataupun tukik yang gagal melanjutkan kehidupan. Ada teman yang menulis pada pesan di FB, “Bawain (tukik) ya , mbak”. Jangankan bawa yang hidup, bawa yang tak bisa melanjutkan hiduppun tak bisa, pak Salim mempertanggung jawabkan kasih sayangnya dengan sepenuh hati, jiwa dan raga. Bak, ada yang dari bahan seperti bath tub, dan pada area yang lebih kecil ada yang dari semen. Tukik dan yang sudah besar diberi makan ikan , menurut pak Salim, ini yang mudah didapat. Makanan penyu sesuai habitatnya , sesungguhnya biota laut. Saat kami di sana, sekitar pk 17, pak Salim sedang mengisi air pada beberapa bak. Pengeringan dan pembersihan dilakukan beberapa kali sehari, agar tidak terdapat jamur pada bak penyu, yang dapat menimbulkan penyakit.
Ada area berpasir putih, di sana telur penyu di “peram”.Saat itu ada satu ember besar, tertera berisi 158, telur penyu , dan tertulis pula nama pulau tempat telor didapati. Nggak terbaca jelas untuk saya, namanya kepulauan Seribu, pastinya banyak pulaunya. Wah, pak Salim harus berkeliling kepulauan Seribu untuk menjemput calon penyu. Saya tidak sempat menanyakan, sistematika pak Salim untuk memilih pulau mana yang dikunjungi, tetapi kisahnya menemukan tempat penyu nitip telurnya, seperti kisah para Indian pencari jejak, Pak Salim menandai dari geseran tubuh di tepi pantai dan tumbuhan yang roboh, yang akan tetap tampak hingga beberapa hari. Pak Salim (ternyata) harus pagi- pagi mengambilnya , saat orang masih bergelung dalam selimut, beradu cepat dengan “predator” berkaki dua, manusia . Telur memerlukan waktu 55 hari untuk menetas, setelah menetas dipelihari dalam bak- bak untuk 9nantinya) dilepas kembali. Ternyata melepas tukik pun dilakukan pada pulau – pulau yang lain, pak Salim mengantar anak penyu mengarungi lautan. Repot ya.
Kesulitan pak Salim tidaklah hanya bangun pagi dan patroli kepulauan, formalin untuk mengawetkan telur tak netas dan tukik tak hendak hidup pun saat ini sulit didapat, sejak peristiwa ikan asin berformalin menjadi sorotan. Hal ini di atasi dengan meminta “sisa” formalin kepada mahasiswa dari manapun atau siapapun yang menggunakan tempat penangkaran untuk belajar . Pak Salim mengatasi kekurangan sarana dengan meminta dibuatkan bak semen untuk tukik sebagai ganti uang belajar . Kecintannya pada penyu menyebabkan rela berpenghasilan Rp 200.000,- meski suatu perusahaan menawari gaji tiga kali lipat. Lho, apa cukup? Apa ya ,artinya cukup..?
No comments:
Post a Comment