Mendapati sulung dan bungsu “tidak menolak” nonton wayang orang, ulang tahun ayahnya 26 Februari 2011, saya upayakan nonton wayang orang. Berempat terasa kurang rame, saya mulai awal Februari mencari tambahan peserta nonton. Mbak Melani dan mas Bayu merespon dengan cepat, ditambah kelompok teman, pak Deddy Iskandar dan Frando Gasparez, plus teman Frando, diajak Frando karena Frando mencari penejemah dari bahasa Jawa ke bahasa Indonesia.
Dunia segitu sempitnya, ternyata mbak Melani dan pak Deddy Iskandar berteman sejak lama. Karcis dipesan untuk 10 orang, pada deret E mendapat nomer 8 hingga 15. Sulung dan bungsu pada jajaran F. Saya mengambil kursi dekat lorong “privilege” saya, he he, agar bisa membuat foto. Sebelah kanan saya kosong, karena prof Santoso Cornain tak bisa hadir, kemudian ayah sulung dan bungsu, ke kanan, teman Frando yang ternyata gemar main ketoprak, lanjut Frando, pak Deddy, mbak Melani , mas Bayu. Saya amati semua sudah punya teman. Teman Frando berinteraksi baik dengan ayah sulung- bungsu dan Frando, pak Dedy dengan mbak Melani. Mas Bayu punya teman pada sisi kanannya yang nonton sendiri, saya lihat cukup akrab, pertunjukan belum mulai sudah bertukar kartu nama. Yakin semua nyaman, saya mencermati pertunjukan dan membuat foto tenang-tenang.
Pertunjukan dimulai sekitar pk 21, setelah tarian pembuka dimulai dengan jajaran Hastina. Serial Bhratayudha ini melanjutkan kisah sebelumnya , Bisma Gugur. Terkisah diperlukan penunjukan senapati baru, setelah Bisma gugur. Resi Durna bersedia menjadi senapati dengan menunjuk dua pengapit yaitu Prabu Gardapati dari Giripura dan prabu Wresaya dari Kasapta, murid-murid Begawan Durna. Mendengar di fihak Kurawa menempatkan Durna sebagai Senapati, difihak Pandawa menunjuk Drestajumena menjadi Senapati. Drestajumena adalah putera Pancala, adik kandung Wara Subadra. Arjuna dan Bima tidak bersedia ditunjuk Kresna menjadi senapati, karena tidak ingin melawan senapati Hastina, ke duanya juga murid resi Durna. Dalam menghadapi taktik Durna dengan Cakhrabuya, Drestajumena menggunakan Gelar Garuda Nglayang, Sayap kanan dan kiri Harjuna dan Bima, dengan pesan tak satupun dari anggota “badan” Garuda, boleh meningalkan formasi/ gelar tanpa ijin senapati. Mengenali kekuatan Pandawa pada ke dua sayap, pengapit senapati Hastina mendapat tugas untuk memancing Harjuna dan Bima meninggalkan gelar Garuda nglayang. Harjuna dan Bima terpancing meningalkan formasi, tercerita pasukan Pandawa porak poranda. Kresna menjumpai Senapati Pandawa, minta ijin meninggalkan gelar, mencari Bima. Sebelum meninggalkan gelar, Kresna memberitahu Gatutkaca, yang bisa memecah barisan Kurawa, hanya Abimanyu.
Terbanglah gatutkaca menuju keraton Wiratha. di Keraton Wiratha, Abimanyu yang kecewa karena tak dibawa serta dalam perang Baratayudha, sedang menunggui isterinya, Dewi Utari yang tengah mengandung. Ketidak ikut sertaan Abimanyu merupakan amanat Prabu Kresna, namun jiwa ksatria Abimanyu tak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya harus berada di Keraton sementari ribuan prajurit lain mempertaruhkan hidupnya diKurusetra.
Kehadiran Gatutkaca di Keraton Wiratha guna menyampaikan titah Sri Kresna untuk memanggil Abimanyu agar bersama Gatutkaca menggantikan posisi Arjuna dan Werkudara yang meninggalkan posnya untuk menerima tantangan perang Prabu Gardapati dan Prabu Wresaya, merupakan kesempatan yang ditunggu-tunggu Abimanyu untuk bisa ikut bertempur di Kuruksetra. Ke dua istri abimanyu, Dewi Utari dan Dewi Siti Sundari tidak mampu mencegah kepergian Abimanyu. Abimanyu gugur di pertempuran.
Abimanyu berperang dengan mengendarai kereta dengan dua kuda. Ha, ini yang saya tunggu, “kuda-kudaan”. Tadinya saya agak kecewa, karena pada penampilan awal, pasukan Kurawa mengendarai kuda lumping. Kisah perang membuat pertunjukan disajikan dengan dinamis, gerak lambat hanya pada tarian di Keraton Wiratha. Ada adegan pasukan gugur ditumpuk-tumpuk, panah melayang-layang. Sulung saya agak khawatir saat ada adegan tumpukan prajurit yang diinjak, takut ada yang patah. Ke tiga punakawan tampil dengan guyonan yang menghibur, yang disampaikan tidak hanya saat pertengahan pertunjukan, tetapi disertakan pada beberapa adegan lain.
Sambil memfoto dan menonton saya mengamati penonton lain. Malam itu karcis sold out, banyak warga senior dengan rambut keperakan pada jajaran depan saya, remaja dan anak kecilpun ada. Aneka penggemar menyebabkan anekan hidangan. Mbak Melani dan mas Bayu, sudah menikmati nasi goreng dan mie goreng sebelum pertunjukan dimulai. Seorang ibu sisi kiri saya, membuka bekal, nasi lengkap dengan lauk. Persis di kiri saya, serombongan yang saat datangpun sudah dengan bungkusan besar makanan ringan, ditengah pertunjukan muncul pasokan (sepertinya) fast food lengkap dengan soft drink. Sudah makan dari rumah, dan teman lain juga sudah makan di rumah, saya memesan juice jambu, teh manis dan jeruk hangat untuk rombongan kami. Banyak yang memfoto, dan saya lihat ada yang mendokumentasikan pemeran tertentu. Ada suara anak kecil dari arah belakang saya : “Mama, jadi apa?” Ho, rupanya mengantar bundanya “main” wayang orang.
Upaya regenerasi disampaikan para punakawan, bahwa akan ada pertunjukan wayang orang yunior saat ulang tahun Bharata ke 39. Saya lupa, Juni atau Juli , direncanakan yang tertua seusia sekolah menengah atas. Mau menjadikan Brandon jadi Bagong dan mengundang Rimungkang! Semoga terlaksana.
Pertunjukan selesai sekitar pk 24. Mas Bayu sudah ngantuk berat. Kami berempat langsung ke padepokan pencak silat di taman Mini Indonesia Indah, karena ayah sulung-bungsu berperan sebagai saksi pernikahan keponakan pada pk 7 pagi, 27 Februari 2011. Bubar dengan agak heboh, karena Blacberry mbak Melani tercecer entah di mana. Saya tidak berhasil mengajak pak Berthold karena pak Berthold mengunjungi mertua, sedangkan pak Mimbar yang Jumat malam masih di Cepu, entah mengapa tidak berhasil bergabung.
Maret ini, 2011, tanggal 19 jatuh hari sabtu juga, ulang tahun ayah saya ke 89.
Nonton lagi, ngga ya?