Monday, May 30, 2011

Sehari di Bengkulu : Bay Tat- Pie (dari) Bengkulu


Jumat minggu terakhir bulan Mei 2011, saya “bertugas “ mengajar di Bengkulu. Tak sampai 24 jam di Bengkulu, saya mengharuskan mendapat “sesuatu” dari Bengkulu. Saat di Jakarta, pesan yang saya dapat: “Jalan-jalan saja, ke benteng Marlborough, rumah pengasingan Bung Karno, rumah bu Fat. Makanannya (cuma) pempek dan krupuk” Nyaris saya “menyerah”, namun detik-detik terakhir, pengemudi mengantarkan ke toko souvenir dan memberi info : “Kue Bay Tat, dok”.

Dari penelusuran, kue ini disebut Kue Tat ( bahasa Bengkulu), Juada Tat ( bahasa Bengkulu selatan), Joda Tat ( bahasa Suku lembak), Ja Dea’ Tat ( bahasa Rejang), sering juga disebut Juada Bay Tat. Kue berbentuk segi empat ini sekilas seperti pie, bahkan seorang senior saya menyebut seperti pizza. Saya dapati ada dua toping, selai nanas, dan selai nanas ditambahi taburan keju. Ternyata yang asli yang berselai nanas. Berukuran sekitar 15 x 15 sentimeter, toping selai nanas (saja) harganya Rp 15.000,-, yang ditaburi keju, ukurannya lebih besar, Rp 20.000,-. Pada kardus bungkusnya terbaca kue Tat berbahan tepung terigu, margarine, gula halus, telur, telur dan selai nanas, santan, vanilla, bumbu kue serta tambahan catatan: tanpa hahan pengawet dan pewarna.

Saya membeli pada Jumat sore, sedangkan saya baru gawe hari Senin, terbaca santan, saya agak kuatir kue tak tahan lama, apalagi catatan tanpa pengawet. Pengemudi pengantar menerangkan : “Kalau lebaran, saya memakannya pada mingu ke dua. Kue Tat makin lama makin enak.”

Di undang ngajar lagi ngga ya? Pengen menikmati Bay Tat yang renyah dan legit sambil menanti matahari terbenam di benteng Marlborough (yang belum sempat saya kunjungi).

He….,ngarepdotkom.

Sunday, May 29, 2011

Seri Klaten- Solo-Jogya: Jejamuran – tempat aneka jamur disantap dan dipandang






<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE

Hari terakhir di wilayah Klaten-Solo dan Jogya ditutup dengan jamuan makan malam di resto Jejamuran. Memposisikan diri sebagai “benda”, saya siap saja di “gotong” ke sana dan ke mari oleh para tuan rumah. Kali ini tuan rumah dr Sunartono, yang ternyata Sekda Sleman Saya sempatkan mencari di Google, dr Sunartono untuk menjabat sebagai Sekda telah melalui fit and proper oleh Gubernur DIY bersama dua kandidat lain. Selamat dr Sunartono.

Sebelum makan malam di Jejamuran, kami diantar ke Dowa, tempat tas rajutan dibuat. Dowa yang mempunyai merk internasional Sac, terletak di Godean, sepertinya cukup jauh juga dari Godean menuju Jejamuran, sehingga saya sempet merem cukup nyenyak. Jejamuran yang beralamat Niron, Pandowoharjo, Sleman, Yogyakarta ini ter”tulis’ pada bannernya tak buka cabang. (He, mungkin ada yang “mengklaim” sebagai cabangnya .)

Tak mengerti apapun tentang jamur, saya pasrah saja, menu (sudah) dipilihkan tuan rumah yang, pengemar berat Jejamuran (menurut dr Fauziah SpA). Semua menu tampil bersamaan, sate, telur dadar, sop, tongseng, jamur goreng tepung. Saya memilih tongseng duluan, rasanya ya persis tongseng, dan ”daging” nya, yang entah dari jamur apa, terasa sebagai daging namun agak kenyil-kenyil seperti kikil. Tongseng saya makan simultan bersama “sate ayam” yang ukuran “dagingnya” sebesar sate ayam langganan bungsu, kalau tak terkadang terasa sebagai lembaran, siapa menyangka ini sate jamur. Sop dengan butiran putih-putih seperti bakso ikan, sungguh menyegarkan, sambil menyruput kuah sup, saya mengigit dadar jamur Shitake.

Saya tidak sempat keluyuran mencari tahu lebih lanjut karena acara ini menjadi acara reuni lintas angkatan sehingga jumpa teman lama yang memang lama tak jumpa, bahkan ada yang sejak saya lulus. Kalau sulung saya, yang lahir sekitar tiga tahun setelah saja jadi dokter, kini semester dua pendidikan spesialisasinya, terbayang berapa lama tak jumpa, jadilah uplek bernostalgia. Info lain saya dapatkan dari bisikan teman yang saya tindak lanjuti dengan tanya mas Google. Dr Setiati Budi Utami, menjelaskan pemilik jejamuran tadinya bekerja pada orang asing (?) yang membudidayakan jamur, namun bertekat mandiri, ditekati mengeluarkan diri dari zona nyaman, berupaya menanam sendiri. Sukses menanam , lanjut menawarkan dalam bentuk sajian matang, kini pak Ratudjo (ini ngintip dari mas Google) tentunya tak sanggup memasok kebutuhan Jejamuran sendirian, digandenglah petani sekitar.

Resto terdiri dari dua bagian utama , ruang besar didepan yang saat kami berkunjung, Senin 16 Mei 2011, menjelang Waisak, ada “band” mini, he, apa namanya ya, menampilkan lagu-lagu manis. Kemudian arah belakan, ada beberapa ruang tertutup, sehingga bisa menjadi sarana reuni seperti yang kami lakukan. Keduanya dihubungkan selasar yang pada sisi kanan berjejer rapi jamur. Selain lezat, jamur-jamurnya tampil cantik, layaknya bunga.

Kalau ingin alternative hidangan sehat, sekaligus mengagumi jamur , Jejamuran pilihannya

(Bonus: Jumpa Wikimuers mas Yusuf Iskandar, disertai sulungnya, dari Yogya Selatan, menjumpai saya demi empat biji saga, terprovokasi saat saya infokan daun saga bisa menjadi obat batuk. )

Tour d’Marijan







<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE

Terlibat pasif dalam arti kata tetap tinggal di Jakarta, tidak menyertai ke wilayah yang terkena dampak letusan Merapi, saat berkesempatan ke Jogya, Merapi tepatnya mbah Marijan tak luput dari kunjungan. Senin, 16 Mei 2011,b erangkat dari Klaten , dari rumah sahabat kami dr Liliek SpOG dan dr Yunisa, setelah sarapan nasi Lethok rombongan tiga mobil menuju desa Kinahrejo.

Wilayah wisata dimulai dari desa Umbulharjo, disambut gerbang dengan spanduk bertuliskan: Selamat datang di kawasan wisata VOLCANO TOUR MERAPI. Di sini ada “petugas” berkostum kuning menarik retribusi, kami semobil bertujuh, jumlah retribusinya Rp 26.000, (perorang Rp 3.000,- dan mobil Rp 5.000). Melaju menuju Kinahrejo, nampak kerusakan yang pada rumah-rumah maupun alam meski sudah nampak menghijau.

Tiba di Kinahrejo, suasana tampak meriah, mungkin karena Senin yang menjadi libur bersama. Mobil berhenti sekitar 1 km dari lokasi rumah mbah Marijan, tak perlu takut lapar dan haus, aneka minuman dan jajanan tersedia. Saya tertarik jajanan yang ditawarkan, ada jadah tempe! Saya kira jadah yang dibuat dari tempe, ternyata dikenas sebagai sandwich, dua potong jadag 3 kali 5 sentimeter ditengahnya diisi tempe, bisa tempe biasa atau tempe gembus yang di bacem dulu. Wah, paduan gurih dan manis berempah. Harganya ngga tahu, dibayarin dr Yanti, matur nuwun jeng.

Sebelumnya sudah mendengar, untuk ke tempat (bekas) rumah mbah Marijan bisa jalan kaki atau naik ojek, berbondonglah kami menuju kumpulan motor, he salah, itu kumpulan motor pengunjung! Kumpulan ojek setelah Information Center, ada peta jelajah Kinahrejo, saying, saya baru mencermati setelah di rumah, rupanya ada jalur mlaku-mlaku (jalan-jalan) sepanjang 3 km. Ojek pulang pergi Rp 20.0000, dan ternyata bukan tepat di lokasi rimah almarhum, namun pada suatu tempat ketinggian sehingga bisa melihat dan memfoto wilayah bekas rumah beliau, tempat jenazah ditemukan ditandai dengan atap genteng dengan 4 penyangga, tanpa dinding.

Jangan takut hanya melihat bangunan diam tak bersuara, banyak pemandu wisata lokal yang memang penduduk yang dengan keluguannya namun dengan tutur bahasa yang jelas, menerangkan kisah-kisah seputar peristiwa erupsi Merapi.

Layaknya tempat wisata, cenderamata tentunya ada, mulai yang “wajib”, kaos dengan gambar Merapi dengan tulisan tahun-tahun Merapi meletus, dan gambar lain, hingga keong yang gemrayah, yang disukai anak-anak, namun rumah keongnya tidak biasa-biasa saja, di cet dan digambari aneka warna , di jual lengkap dengan rumah-rumahan mungil.

Ah….mbah Marijan ternyata tak pernah “meninggalkan” Merapi, karismanya tetap tinggal dan memberikan penghidupan.

Prambanan- Ramayana Ballet












<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE

Undangan mas Loyke mantu, 15 Mei 2011 sudah dikumandangkan sejak sekitar 7 bulan sebelumnya, sehingga saya berkesempatan mencari acara sampingan. Pernah terbaca pada status seorang senior, beliau nonton Ramayana di Prambanan, teringatlah masa kecil saya, samar-samar pernah diajak ibu almarhummah nonton “ketek”. Saya segera mencari pada Google, tanggal 14 Mei 2011, ada pertunjukan. Keinginan saya disambut yang punya rumah, dr Liliek SpOG dan nyonya, dr Yunisa, dan dari 48 kawan yang menghadiri mantunya mas Loyke, 14 orang menyertai saya nonton.

Pertunjukan berlangsung di pelataran candi Prambanan, pada panggung terbuka berbentuk U, dengan ketinggian 180 cm dari tanah, panjang 50 meter dengan lebar 16 meter. Saya ngga sempat menghitung penari, namun saat semua penari keluar diakhir pertunjukan, penuhlah panggung. Pada penelusuran, saya baca setidaknya 250 orang penari terlibat.

Saya menikmati pertunjukannya justru setelah di rumah, dari reaman kamera, karena saya terpesona candi Prambanan yang menjadi latar belakang. Saya kutak-kutik kamera digital mungil saya untuk mendapatkan panggung dengan candi Prambanan sebagai latar. Meski demikian, saya masih sempat mengikuti jalannya cerita kok. Teramati pemeran Rama, sepertinya (harus) atlit panahan, Rama dengan tepat mengarahkan panahnya pada kijang, sehingga bisa ditangkap kijang yang kemudian “berubah” menjadi Kalamarica. Panah terlepas dari busurnya dengan titis juga, saat adegan Sugriwa- Subali.

Ramayana sebagai pertunjukan kolosal digagas Ir Soekarno, presiden Republik Indonesia yang pertama, dan pertunjukan pertama berlangsung pada tahun tahun 1961. Cocok dengan ingatan saya, saya “merasa” menonton tahun 60an, saat ayah saya di Makasar, saya masih di Sekolah Dasar, bersama kakak, diajak ibu dengan teman-teman sekolahnya. Rupanya ibu saya nonton sambil reuni. Jadi pertunjukan ini sudah berlangsung sekitar 50 tahun. Hebat . Karcis berkisar mulai Rp 75.000,-, hingga Rp 250.000,- dengan bangku –bangku permanen dari semen, kecuali pada dua sudut, tempat penari terkadang melintas, terdapat kursi lipat. Terjadual pertunjukan mulai pk 19.30 hingga 21.30. Diselenggarakan saat bulan purnama. SENDRATARI RAMAYANA - PRAMBANAN ini beralamat Jalan Raya Yogya-Solo km 16 Prambanan, Yogyakarta dengan tlp. 0274 496408. Fax 0274 496408





Cerita dibagi dalam beberapa babak. Dimulai sejak prabu Janaka menyelenggarakan sayembara, mencarikan jodoh putrinya yang jelita, Dewi Sinta. Pemenangnya: prabu Ramawijaya! Cerita tidak berhenti, karena salah seorang peserta sayembara, prabu Rahwana, tak menyerah meski kalah. Kenapa ya, bulan madu saja kok ditengah hutan,dan menjadi penggalan ke dua pertunjukan yaitu, episode hutan Dandaka. Tampil pada tengah panggung Rama-Sinta memadu kasih, dengan Lesmoni, jadi kambing congek, mengekori. Rahwana berusaha memisahkan Rama dari Sinta dengan meminta Kalamarica menggoda. Kalamarica mengubah diri menjadi kijang yang cantik, lincah menari-nari, sehingga Dewi Sinta tergoda, meminta suaminya raden Rama untuk menangkap. Atas nama cinta, Rama mengejar kijang, dan meminta adiknya Lesmono menjaga Dewi Sinta. Heran juga ya, kok ngga Lesmono saja ya, yang disuruh ngejar kijang. He, dongengnya bisa bedoa donk.

Berniat memisahkan Rama dari Sinta, terkisah Kijang Kencana berlari jauh, sehingga Rama gemes, dipanahlah sang Kijang, dan berubahlah kembali menjadi Kalamarica. Set panggung berubah mengisahkan Sinta yang ditinggal, dijaga Lesmana. Merasa Rama pergi lama, Sinta meminta Lesmana mencari sang kakak. Dalam buku yang pernah saya baca, Lesmana menolak untuk meninggalkan Sinta, namun karena Sinta menuduh, bahwa Lesmana juga ikutan naksir Sinta, (mungkin) Lesmana jadi ngga enak hati, Lesmana meninggalkan Sinta, namun menjaga dengan meminta Sinta tetap berada dalam lingkaran yang dimanterai.

Rahwana mengetahui Sinta ditinggal sendiri, berusaha mendekati Sinta, namun takdapat mendekati Dewi Sinta. Tak kehilangan akal, Rahwana mengubah menjadi pengemis, sehingga luluhlah hati Dewi Sinta, dan menjulurkan tangannya melewati garis mantera. Sekejap, cukup untuk Rahwana menyambat tangan Dewi Sinta, menarik keluar lingkaran, judulnya : menculik.

Rahwana membawa Dewi Sinta ke balik panggung, ditengah panggung tampail Jatayu. Bueung Garuda, yang akhirnya tewas oleh Rahwana, saat berupaya menggagalkan niat Rahwana. Jatayu sebelum ajalnya, menceriterakan ke mana Sinta menghilang. Ditengah kesedihan kehilangan Sinta, datang kera putih, Hanuman, yang diperintahkan pamannya Sugriwa, mencari dua kesatrai, adalm upaya mencari bantuan, untuk mengambil kembali istrinya Dewi tara, yang direbut kakaknya , Subali. Terkisah, Rama berhasil membunuh Subali dengan panahnya. Rama memanah Subali dari sisi kanan penonton, tepat pada posisi yang diisi kursi lipat. Para penari , terutama Rama, tidak hanya beraksi di panggung persegi empat, namun sesekali ada adegan meninggalkan panggung menuju arah penonton, dan ada yang muncul dari arah penonton. Terdapat dua sisi yang dijadikan jalan, dan rasanya cukup jauh untuk ke balik panggung dari sisi luar arena pertunjukan. Sebagai rasa terima kasih, sugriwa membantu Rama mencari Dewi Sinta.

Alkisah dikerajaan Alengkadirja, menampilkan Kumbokarno diusir sang kakak prabu Rahwana, karena tidak mengetujui tindakan sang kakak, yang menculik istri orang lain. Rahwana tak bergeming, bahkan berusaha membujuk Dewi Sinta, yang dimukimkan di Taman Argosoko, ditemani keponakan sang prabu, Dewi Trijata. Disinilah Hanoman obong, Hanoman yang menjadi utusan raden rama berhasi menyusup kedalam taman, membuat keonaran dan sengaja tertangkap, sehingga terjadilah kisah Hanoman obong, Pembakaran Hanoman, di visualisasikan dengan api sesungguhnya, Hanoman membakar “gubug” rumbia yang terdapat pada latar belakang panggung. Apinya panas hingga tersa ke kursi kami.



Setelah itu adegan beberapa penari berkostum biru, ada “ekor” ikan, kemudian dari kanan panggung muncul kera-kera berkostum merah membawa “batu:. Aha, saya ingat, ini Rama tambak. Adegan berlanjut dengan perang, namanya perang Brubuh, Kumbokarno, atas nama bangsa dan Negara Alengka, mau menkadi panglima meski pernah diusir kakaknya. Rahwana gugur terkena panah pusaka Rama. Sinta diantar hanuman menghadap Rama, namun Rama meragukan kesucian sinta. Sintapun membakar diri, adegan dilakukan pada puncak tangga yang terletak di tengah arena. Nah, yang ini bukan api, tapi kepulan dry ice, karena terkisah api tak mampu “menjilat” Sinta, karena Sinta tak ternoda. Rama menerima kembali Sinta, adegan ditutup dengan keluarnya semua penari, penuhlah panggung. Para penonton dipersilahkan mengambil foto dengan para penari.

Sempat kuatir kalau perlu ke toilet, sehingga selama pertunjukan ngga berani minum, pulangnya baru terlihat toilet yang bersih dengan keramik putih, namun saya ngga lihat orang antri, mungkin semua berfikiran sama, ogah ke toilet. Ditengah pertunjukan ada jeda dan ada refreshment yang diseduakan untuk yang dengan karci Rp 250.000. Sesunggungnya ada dinner juga, entah dengan bayar lagi, atau Rp 250.000, terikut dinner yang dijadualkan antara pk 19.00- pk 20. 00

He, terpenuhi keinginan menonton Balet Ramayana. Matur nuwun dr Liliek P spOG dan dr Yunisa. Apalagi pulangnya langsung,….mie jawa.