Apa saya penggemar wayang orang ? Entah, tapi saya senang dengan budaya Indonesia , keris almarhum mertua , tenang-tenang di rumah praktek dan setiap Suro bisa jadi sarana mengundang kerabat dan sahabat. Sekarang batik ibu siap di katalogkan. Malam menjelang tahun baru 2011, pertunjukan mulai pk 20.30, takut terlambat pk 18 tepat kami sudah menuju gedung pertunjukan di Jalan Kalilio, wilayah Senen Jakarta pusat. Desember hari terakhir jatuh hari Jumat, jadi masih gawe, asisten wara-wiri saya minta survey lokasi, agar malam hari tidak cenanak-cenunuk. Saya baru pertamakali menonton WO Bharata di gedung wilayah Senen, dan ini menonton yang kedua kali WO Bharata. Yang pertama digedung kesenian wilayah pasar baru.
Saya biasanya cuma lewat dan memandang gedung dari kejauhan, karena datang saat masih “sore”, mobil bisa parkir tepat di depan gedung, turun dari mobil disambut tiruan reco / patung gladag, yap, langsung mejeng dekat patung, dan memfoto papan acara pertunjukan yang tepat di belakang patung. Masuk lewat pintu, tampak suasana yang bersih nyaman, dan penting untuk saya, gedungnya dengan label dilarang merokok, ……… lega. Masuk arah kiri, loket, ngga ada antrian, karcis dipesan lewat telp, pengunjung tinggal ambil saja ticketnya, sulung saya mengambil satu hari sebelumnya, janjian dulu. He he, system kan banyak, PSSI kok ngga bisa inovasi biar ngga ribet ya? Ke kanan toilet, bersih…., aman. Sambil menunggu, melihat buku-buku yang dijual, ada ensiklopedi wayang, prombon jawa lengkap, saya memilih urip ora gampang, ada kata bjak pujangga Jawa Ronggowarsito yang ingin saya kutip pada ringkasan disertasi saya.
Kursi di ruang tunggu sedikit, pintu ke ruang pertunjukan dibka jauh sebelum acara di mulai, jadi saya bisa membuat fotot dan berbincang dengan pak Yunus. Ruang bersih, teratur, kursi bisa dilipat, pada sisi kepala bungkus seperti kursi di pesawat dari batik. Bangku bergradasi turun, 8 deret dari depan A hingga F, merupakan bangku VIP, dan 8 deret berikutnya kelas satu, serta ada balkon. Hati biasa VIP Rp 50.0000, khusus tahun baru Rp 100.000,-. Bangku-bangku bernomer, jadi ngga perlu sibuk, plus ada pemandu yang menunjukkan tempat duduk. Sulung belum datang, tetapi pak Yunus mengenali kami, “Keluarga mbak Olly ya? Monggo, boleh kok, masuk.” Wah, serasa bertamu ke rumah kerabat. Sambil membuat beberapa foto, saya bertanya kepada pak Yunus tentang sejarah gedung. Menurut pak Yunus, tadinya gedung perbekalan jaman Belanda, kemudian menjadi gedung Bioskop, Rivoli namanya. Saya lupa kapan gedung ini menjadi tempat pertunjukan, tetapi kalau tidak salah mulai tahun 1962. Nanti akan saya tanyakan lagi.
Datang mulai sore, saya tidak takut kelaparan, sulung sudah member info, makanan bisa dipesan dan di bawa masuk. Benar saja, makanan dan minuma bisa di pesan sepanjang pertunjukan, di antar, sebelum pertunjukan saya membeli minuman dan makanan kecil, Rp 20.000,-, kemudian saya memesan mie goreng, rp 10.000, buku yangsaya beli rp 40 000. Jadi buku dan makanan kurang dari 100.000.
Pak Yunus menginformasikan, synopsis sedang dicopy saat mengantar kami ke tempat duduk, synopsis dibagi sebelum pertunjukan di mulai, ada running text yang cukup membantu. Gamelan sudah dimulai sekitar setengah jam sebelum pertunjukan.
Pertunjukan dimulai dengan disebutkan dulu siapa sutradara dan para pemain, saya lebih suka menyebut sebagai pendukung acara. Banyak nama disebut, namun ternyata memang pertunjukan wayang orang melibatkan banyak pendukung.
Pertunjukan dimulai dengan tari pembuka, ditarikan anak-anak, ini mungkin upaya regenerasi, namun saya dapati penari yang tergolong anak-anak, gembira dan melakukan dengan sepenuh hati. Adegan dimulai dengan pusat kisah, Dewi Durgandini. Sepanjang pengamatan saya , Dewi Durgandini diperankan oleh dua orang, pergantian terjadi saat Dewi Durgandini berjumpa dengan prabu Sentanu, ndoro kakung yang lebih dulu menyadari pergatian pemeran. Ho, ini dia, mengapa pada running text di tulis flash back saat kisah Dewi Durgandini berjumpa Palasara, jalur utama cerita ya saat Dewi Durgandini jumpa Prabu Sentanu. Pemeran diganti dengan yang tampak usia lebih matang, namun ternyata memang pemeran yang ke dua power dan artikulasinya lebih jelas tertangkap. Dewabrata yang tampil dengan tiga keadaan ditampilkan seorang pemeran, kami mengenali dari bentuk hidungnya, kostum yang digunakan cukup memberi kesan terhadap tentang perubahan waktu. Saat menjadi resi muda yang ikut sayembara memperebutkan tiga putri, kesan resi ditampilkan dengan selendang putih disampirkan pundak, sedangkan saat mejadi “orang tua “ Destrarastra dan Pandudewanata, dengan jubah dan diberi jenggot.
Kostum dan riasan memang bisa membangun kesan. Hali ini menggiring saya menemukan Semar, Petruk, Gareng dan Bagong. Gareng yang muncul duluan saya kenali dari jalannya yang pincang, karena penyakit pada kaki kanannya dan lingkaran matanya yang tidak terlalu lebar, Petruk, seingat saya harusnya kutilang alias kurus , tinggi dan langsing, saya dapati pemerannya sudah bertambah massa lemaknya sesuai usia, namun kuncirnya yang panjang membantu saya menangkap karakter Petruk. Bagong, seingat saya meski memang paling pendek, namun lebih bulat dari Petruk. Pemerannya massa lemaknya tidak sebanyak Petrul, tetapi lingkar mata yang bulat besar dan jambul dikepala yang seperti ujung kemoceng, dengan cepat saya kenali sebagai Bagong. Saat muncul, sempat mengganggu pak “pancen oye” Mantep yang hadir di akhir tahun, sindir Bagong : hadir karena ngga punya job.
Pendukung kanak-kanaknya, Abiyasa kecil, mau lho mukanya di hitamkan, biar ngga ganteng, yang jadi Destarastra kecil, yang tampil sebagai kanak-kanak buta, serta Pandu kecil dengan leher “tengeng”,
Ah, rupanya saya menonton memang bukan sekedar mengakhiri tahun, tetapi membangun kembali ingatan masa kecil, mengingat kisah-kisah Mahabharata – A. Kosasih, mengingat ikut ayah dan pengasuh menonton wayang orang di Malang ataupun di Semarang.
Saya sertakan foto kendang, yang akan ditampilkan Ki Narto Sabdo kalau ayah saya kebetulan “tertangkap” menonton Ngesti Pandowo.
No comments:
Post a Comment