Monday, October 3, 2011

Bubur ayam “Sugeng Rawuh” Cikini


Pagi hari pada hari Selasa terakhir bulan September 2011, tepat pk 6 saya meninggalkan rumah di kawasan Jakarta Barat yang sudah berbatasan dengan Jakarta Selatan. Berbekal tiga susun wadah makanan cantik, saya meluncur menuju tempat gawe, rumah sakit rujukan nasional, di upayakan melewati Cikini Raya. Penjual bubur yang mangkal di KFC, arah menuju pasar Cikini menjadi tujuan saya, mencarikan isi wadah, untuk ayah kami, penyuka bubur ayam. Penjual bubur ayam banyak, namun beberapa kali lewat, saya tertarik dengan pramusajinya banyak dan berseragam.

Bangunan gerai KFC Cikini ini, saat tahun 60an akhir hingga awal 70 an, saya kenal sebagai barber shop, tempat ayah saya potong rambut. Kami biasanya datang sore menjelang malam. Pada sudut yang sekarang menjadi tempat meja bubur ayam, ada kios buku dan majalah , sedangkan pada sisi tempat sekarang gerobak bubur, mangkal tukang martabak. Depannya, bangunan pertokoan yang masih ada, saya mengenalnya bernama Hias Rias Cikini, saat lalu menjual sepatu, tas dan pernak- pernik cantik dengan sisi dalam yang terbuka ada gerai makanan berpayung, menjual es campur. Jadinya kalau menunggu ayah kami potong rambut, kami seringkali membeli buku atau majalah, kalau membeli martabak sepertinya wajib saat itu, dan terkadang bila hawa terasa panas, menyeberang, mencari es campur.

Saat saya sampai, parkiran KFC sudah penuh, dan ternyata, sebagian besar datang untuk sarapan bubur ayam. Saya turun dari mobil, segera disambut seorang bapak paruh baya, saya belum sempat bertanya beliau siapa, namun terkesan pemilik gerobak bubur ayam, dengan serta merta memerintahkan “anak buahnya” mengambil alih wadah saya dan diserahkan ke anak buah lain yang bertugas menyiapkan. Gerobaknya hanya satu, saya hitung pramusajinya ada 5 orang yang berseragam. Berjualanpun sudah menerapkan system sehingga pelanggan tidak menunggu. Ada seksi wara-wiri dan ada yang dengan cekatan menyiapkan bubur lengkap dalam mangkuk, dan ada menyiapkan yang untuk dibawa, yang lebih ribet, karena ayam dan perlengkapan lainnya, termasuk bumbu, dipisahkan masing-masing dalam kantung plastik. Saya tidak melihat, bubur nya dimasukkan plastik, kemudian masuk stryrofoam , atau langsung pada stryrofoam. Nampaknya yang memesan bawa pulang banyak juga, hingga selain yang berseragam, saya lihat tenaga “tambahan” yang bertugas menyiapkan kecap dan sambel. Sistem rupanya sudah berjalan, dikomandoi bapak yang menyambut saya, yang sesekali memberi arahan.

Ingatan saya tentang barber shop disegarkan saat saya berbincang dengan pemilik bubur ayam, dikatakan, barber shop memang di situ, 35 tahun yang lalu, namanya Sugeng Rawuh. Tinggal tak jauh dari Cikini, kami memang terbiasa ke pasar Cikini dan sekitar, lagipula tak banyak barbershop saat itu. Sambil menanti bubur ayam, saya tanyakan kaos seragam, ternyata ada 3 warna, kuning , merah dan oranye, masing-masing dikenakan 2 hari dalam seminggu, dan satu baju batik. Saat lewat lagi sekitar pk 9, gerobak dan meja kursi telah tak ada. Wah, saya membeli tepat waktu, tepat juga dengan jam makan pagi ayah kami.

Bubur ayam sekitar Cikini memang banyak, namun bubur “kuning’, layak dicoba.

No comments: