Thursday, June 23, 2011

Bukan perempuan-perempuan biasa









<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE


Saya tidak ingat, saya diminta memberi ceramah, atau saya yang meminta ( he, berhubung saya gemar “mendongeng”) pada kelompok senam lanjut usia di departemen kami di RSCM. Jadilah saya Selasa ke tiga bulan Juni 2011, berkumpul dengan sekitar 20 orang ibu dengan tahun lahir antara tahun 30 an dan 40 an.

Datang paling awal seorang ibu yang ramah, segera memperkenalkan nama dan memberika kartu nama. Ibu Etty, demikian beliau disapa, pada kartu nama, tercetak berbagai kebisaan beliau beliau perempuan dengan berbagai talenta, penyiar radio Pramuka Wildatikta, guru bahasa Inggris, guru seni budaya dengan penjelasan tercantum dalam tanda kurung music, teater, dan seni rupa. Bersuara merdu pula, yang dipraktekkan dengan menyanyi, diantara perbincangan kami. Kartu nama ke dua, saya peroleh dari Ibu Aan, seorang sarjana hukum, yang tidak hanya memberikan kartu nama, perempuan berusia lebih dari 60 ini menawarkan, bila saya memerlukan bantuan hukum untuk membuat klinik atau sejenisnya, telpon saja beliau, beliau akan datang. Saya tertarik seorang anggota yang bergoyang terus saat menunggu teman lain, dan sesaat kemudian saya dapati berada di tengah ruangan, dikerubuti beberapa teman…., sedang mengajari para teman beliau dansa cha-cha. Ibu Rini yang ceria, segera saya ajak untuk menyemarakkan senam kami di hari Rabu.

Masih “terperangah” dengan tiga ibu yang energik, ada yang membuat saya lebih terkejut. Seorang ibu , berusia 82 tahun, saat ini berstatus mahasisiwi Universitas Muhammadiyah, semester empat, menjelang lima kata beliau, saat ini sedang UAS (ujian akhir semester). Entah fakultas apa, saya terkagum-kagum sampai ngga ingat, menurut beliau wisudanya di Mekah (nantinya).

Ini empat yang bisa saya sebut, sebetulnya kesemuanya hebat. Usia bukan pula halangan untuk tetap modis, senam seminggu sekali yang jatuh di hari Selasa, diatur warna kaos seragam olah raga. Selasa pertama biru tua, Selasa ke dua biru muda, Selasa ke tiga ungu, Selasa ke empat putih, kalau ada Selasa ke lima, warnanya bebas.

Serasa muda berada di tengah 20 perempuan kelahiran 30an dan 40 an, mulai pk 9 hingga pk 11.30, saya berharap bisa merancang masa nanti yang berkualitas.

Semoga……

Tuesday, June 14, 2011

Curug Jaksa Cibereum: dekat di kaki, sejuk di hati


<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE


Lelah setiap hari duduk setidaknya satu jam saat perjalanan berangkat kerja, dan terkadang dua jam saat pulang, jadinya ingin jalan kaki yang berkualitas. Minggu terakhir bulan Mei 2011, ke Taman Safari Indonesia Cisarua menjadi agenda , dengan tujuan utama air terjun Curug Jaksa.

Sampai sekitar pk 10 pagi, segera lepas dari alur hewan, segera menuju Curug Jaksa. Setelah parker mobil, dilanjut dengan jalan kaki menuju area Curug Jaksa, sekitar 150 meter dari parkiran mobil. Diawali dengan duduk sejenak di “kantin” mungil di ujung pintu masuk yang siapun belum, kami memesan minuman hangat dan membelikan sarapan asisiten wara-wiri khusus minggu.

Jalan tak terlalu mendaki, dibuatkan jalur yang nyaman sehingga tak perlu kuatir kelelahan karena terlalu terjal. Wah, air jernih memercik membuang seminggu kelelahan. Adem…..

Menurut tulisan pada kantin tempat kami singgah, Curug jaksa terletah di lembah gunung Pangrango, dan merupakan kawasan pertama yang ditetapkan sebagai cagar alam.

Jalan kembali berbeda dengan jalan menuju Curug, dibuat dua jalur dengan catatan yang satu lebih curam. Bungsu takut saya jatuh, saya dan sulung diharuskan kembali lewat jalan yang tidak curam.

Patut untuk dikunjungi kembali, karena saya belum sempat mengamati flora dan fauna sekitar curug. Hmmmmm, lagipula (untuk saya) dekat di kaki….., untuk membiasakan berjalan kaki, untuk persiapan menurunkan berat badan………..

Monyet Jepang-Taman Safari Indonesia Cisarua





Sunday, June 5, 2011

Mie Jawa :pak Rus Klaten, depan SGM





Seri Klaten- Solo-Jogya: Ketika suasana ikut serta -Mie Jawa Klaten , House of Raminten Jogya


Mie Jawa- Slow Food

Kereta api tiba di Klaten Sabtu sore melewati jadualnya alias telat, mebuat mie Jawa digeser menjadi setelah nonton Ramayan, jadilah menuju tempat Mie Jawa dengan mata ngantuk dan lapar. Mie Jawa pak Rus, Taji Prambanan depan Pabrik SGM tepat di tepi jalan , Tempatnya temaram, dengan meja panjang dan bangku panjang, terdapat empat meja panjang, rombongan kami memenuhi tiga meja panjang, sedangkan pada satu meja berbaur dengan pengunjung lain . Mie Jawa ini menjadi mempunyai rasa beda karena dimasak menggunakan dan dikipasi dengan kipas bambu ,dan meski sudah penuh pelanggan, tetep dimasak satu- satu. Terbayang menunggu makanan harus berbekal sabar. Sambil menunggu, tercerita saat mahasiswa dulu, antri mie yang juga di masak satu-satu, bila seorang pembeli bertanya , kapan gilirannya dilayani, penjualnya akan menjawab : sedoso malih (sepuluh lagi) baru giliran yang bertanya. He, yang paling rame , bahkan menjawab sekawan ndoso (empat puluh), teman saya (saat itu) langsung menjawab” Wis, ra sido luwe, pak. Mbenjing mawon”. (“Wah, ngga jadi lapar pak, besok saja”). Barangkali ini lawannya fast food ya, slow food. Kami ber enam belas, atau bahhkan lebih ya, saya mendapat giliran ke enam aau ke delapan ya, sambil mata sudah lima watt, nyruput kuahnya pelan-pelan, dari rencana makan separuh karena sudah malam, takut berat badan naik..(lagi --..hi, hi, sudah terlanjur), sedapnya mie-slow cook mengalahkan rencana. Tandas tak bersisa.

House of Raminten: ketika suasana ikut serta

House of Raminten menjadi istimewa untuk saya, karena ternyata salah seorang teman, dr Setiati Budi Utami, teman main pemiliknya, pak Hamzah, saat ke duanya masih bercelana monyet, bermain kuda-kudaan pelepah pisang. House of raminten yang terletak di tikungan jalan, bersebelahan dengan Mirota bakery (kalau tak salah), lha Mirota bakery ini dulunya rumah dr Setiati yang dibeli Romo Hamzah. Saat kami berkunjung, sekitar pk 14, romo (demikian para karyawan menyebut pak Hamzah) sedang tak enak badan, sehingga tidur siang. Jadilah teman kami ber sms (short message ) saja dengan pak Hamzah, yang menyebut dirinya dengan Raminten saat berkomunikasi. He, he, kapan lagi makan ditemani kuda, yang tampak dari kursi kami seekor, ternyata ada setidaknya lima ekor lagi. Belum lagi Pada saat kembali ke Jakarta, kebetulan ada Nova yang memuat kisah Hamzah dengan House of Ramintennya. Terkisah resto yang iseng dibuat, visinya mencari teman . Apa karena itu ya, sehingga dibuka 24 jam? Selain kuda, ada bath tub bunder ngablah- ablah di halaman dekat wastafel, lho, apa yang makan sambil berendam? Ada layanan istimewa:, perawatan tubuh khusus pria. Tulisan-tulisan lucu. Peragaan membatik. Kami berdua puluh, makan kenyang sambil ada yang dibawa, billnya Rp 300.000,- Terbaca pada Nova, harga makanan diupayakan di bawah Rp 20.000,- , agar terjangkau. Raminten alias romo Hamzah memang menjual suasana, dan memanfaatkan ruang yang tak begitu luas, jadi pengaturan meja ada yang dengan kursi, ada yang lesehan, sedang di depan ada yang dibuat agak tinggi.

Bu (?) Raminten pada akhir sms nya : Terima kasih sudah nglariske restoku ya Iwil (panggilan sayang dr Setiati). Romo Hamzah ternyata juga rendah hati. Mensyukuri kedatangan kami dengan (pesan) ucapan terima kasih yang tulus.

Jawa Timur: Rawon Mojoagung, ngga item-item amat

Jumat kejepit, 3 Juni 2011 yang dijadikan libur bersana, lepas magrib meninggalkan Kediri setelah jumpa sepupu , dan sebelumnya dari Nganjuk, jumpa teman yang tak jumpa sejak tahun 1982, pengemudi mobil menyarankan makan malam di Mojoagung, rawon terkenal, imbuhnya.

Saya manut saja, karena saat berangkat dari Surabaya, menuju Barat Daya, ke Nganjuk, saat melewati Mojoagung , terbaca krengsengan. Jadilah kami mampir sekitar pk 20.00. Yang terkenal dan banyak pengunjungnya yang di tengah, Rosoboso. Saat menunggu dan menikmati hidangan , saya lihat pengunjung silih berganti, bertukar dengan cepat. Rawon dan krengsengan memang sudah tersedia, jadi tak perlu menunggu lama setelah memesan. Golongan fast food? He.

Saya minta nasi dan rawon dipisah, rupanya yang lazim, kuahnya yang dipisah. Saya mendapat dua piring, satu piring berisi daging rawon dengan taoge pendek serta sambel kemiri diletakkan di atas nasi, dan sepiring kuah. Ternyata kuahnya ngga sehitam bayangan saya tentang rawon, malah mirip garang asem Pekalongan, yang memang berbumbu kluwak juga. Daging rawon Mojoagung juga bukan yang banyak gajih atau lemak (sandung lamur?), daging “bersih” , potongannya tidak mendekati bentuk dadu, tetapi dipotong lebar dua jari, panjang dua ruas dan tipis. Seddap.

Penasaran dengan krengsengan yang terbaca saat lewat di pagi harinya, saya memesan satu porsi. Ternyata “bentuknya” seperti kalio, hanya potongan dagingnya lebih tipis, dan rasanya lebih manis karena menggunakan kecap manis . Resep krengsengan tanpa santan, meski tampilannya seperti kalio. Krengsengan berbumbu bawang merah, bawang putih, cabe merah kering,butir kemiri, jahe, garam-gula merah selain kecap manis yang mendominasi.

Meski daging nya lebar-lebar, rawon dan krengsengan Mojoagung dagingnya empuk. Saya dapati banyak keluarga membawa anak-anak, yang semuanya bisa menikmati rawon, pastinya mudah dikunyah anak-anak.

Ke Jawa Timur? Tak ada (lagi) alasan tak suka rawon karena berwarna hitam, yang tak hitampun ada.

Monggo….

Wednesday, June 1, 2011

Tidur dulu ...ah.

Seolah mewakili kelelahan saya, seekor orang utan Taman Safari Cisarua, di pagi Minggu, 22 Mei 2011, selepas pk 9 pagi tidur sangat lelap, tak terusik dengan aktivitas yang berlangsung disekitarnya. Datang tepat pk 9, rupanya waktunya makan pagi para hewan. Saya memulai dari badak yang lenggut-lenggut keluar dari air makan rumput, sampai di kawasan orang utan yang di akhir lintasan, rupanya orang utan sudah selesai makan sehingga tertidur.

Jadi pengen tiduran disebelahnya. ...he....