Bertempat tinggal di dekat makam pahlawan, membuat rumah eyang jadi tempat ayah –ibu menitipkan saya, kalau ortu harus hadir pada acara di Taman Makan Pahlawan- Malang. Berusia hanya 3 tahun di atas ayah saya, namun silsilah mengharuskan saya memanggil eyang. Seingat saya, saat saya balita, anggrek bulan nya banyak. Putih-putih, sepanjang dinding, saya jadi krasan menunggu, memandangi bunga yang untuk saya indah sekali. Saya sih merasa disayang, wong jaman anggur belum lazim, eyang punya tanaman anggur , begitu berbuah, saya pandang, eh, eyang putri langsung mengomando eyang kakung untuk memetik.
Kami pindah ke Jakarta, setiap kesempatan ke Malang mengunjungi beliau wajib buat saya. Saya dapati anggrek berkembang, ada anggrek potong sehalaman penuh. Anggrek nya memberi penghasilan , sehingga saat saya menikah, beliau hadir, eyang “guyon”nya, aku mabur nganggo anggrek (saya terbang diongkosi anggrek). Saya selalu mengira , semua itu didapat eyang dengan “mudah”, wong kerjanya di Dinas Pertanian, pendidikan (di Bogor) sesuai, gampang gitu loh. Saya baru menyadari, eyang pun berproses untuk mendapatkan semuanya. Tak sengaja saya mendengar kisah perjalanan beliau menapaki dunia anggrek. Detik-detik akhir kunjungan saya ke beliau minggu 23 November 2008, saya “merekam “ beliau dengan kamera mungil saya, “Ayo eyang, cerita, bagaimana mulai beranggrek”.
Lha, saya baru ngeh, beliau memulainya dengan membeli anggrek dari tukang pikul, melalui banyak kesulitan, dalam kurun waktu sepanjang umur saya, kini hasilnya bunga-bunga cantik! Pakai acara putus asa, anggrek di buang, eh, tumbuh, diopeni lagi, belum berbunga. Di tinggal prung, dicuekin lah si anggrek, eyang putri membantu merawat, eh , berbunga, jadi menurut eyang “Saya belajar sabar dari anggrek”. Sampai Jakarta saya tunjukkan hasil jepretan saya pada Ndoro Kakung versi saya (yang bukan versi blooger), alias suami. Nah, saya malah ditertawakan, “Eh, eyangmu itu pendiri komunitas anggrek pada awal-awalnya, terkenal lho”. Ndoro kakung saya ,tahu pasti, karena dulu juga pernah jadi “tukang anggrek”, bahkan sempat punya kios di Ancol.
Wikimuers, saya tampilkan foto-foto anggrek yang saya rekam. Cantik ya. Di usia 89 tahun kini, dengan keterbatasan fisik karena usia dan kesehatan, anggrek di kelola dengan serius. Mengusung nama Bogor Orchid, dimotori sepupu saya yang menemani eyang, anggrek menjadi berkembang. Rajin mengikuti pameran dan menerima konsultasi (gratis). Eyang sekarang kami wajibkan jalan dengan tongkat, membantu meredam nyeri punggung yang terjadi karena kekakuan, kaca mata yang di belikan buyut , yang dokter mata. Hanya itu yang bisa kami para cucu dan buyut berikan. Saya tak tahu beliau menerima pensiun berapa. Namun upaya mengisi hari tua dengan produktif dan ternyata semua itu merupakan proses. Eyang untuk saya, selain pahlawan juga sumber inspirasi.
(Mbak Ani, terima kasih sudah menjadi saudara kami. Titip eyang ya)
No comments:
Post a Comment