Petugas kebersihan digawe saya penuh waktu mengeluh: “Sekarang pemulung ngga boleh masuk, dok. Jadi sampah banyak. Dulu kurangan, karena kalau siang sebagian di ambil pemulung”.
Namun, terpaksa ada rambu menolak, karena terkadang yang dipulung yang belum direlakan pemiliknya. Termasuk di rumah ayah saya, di tengah kota di Jakarta Pusat ,burung dara sekandang dan treadmill pernah dipulung, subuh-subuh.
(Foto diambil di wilayah perumahan di Jakarta Barat)
Untuk menggambarkan hebatnya team work , ada metafora menarik. Analogikiah tentang kehidupan dua binatang , kura-kura dan kelinci.
Berikut dongengnya :
Satu hari kelinci mengajak kura- kura adu lari. Lombapun dimulai, kelinci langsung memimpin jauh di depan kura- kura. Kelinci menoleh, dilihatnya kura-kura masih jauh di belakang. Merasa menang, kelinci berhenti, tidur-tiduran, akhirnya malah ketiduran. Sedangkan kura- kura tetap “berlari”, bahkan melewati kelinci yang sedang tertidur. Kura-kurapun menang. Kelinci menangis, karena malu dikalahkan kura-kura.Kura-kura menghibur kelinci sambilberkata , “ lain kali kamu harus hati- hati dengan falsafah kehidupan kami , alon- alon asal kelakon “
Kelinci minta diadakan pertandingan ulang. Kura-kurapun setuju.Begitu aba-aba start dimulai , kelinci lari sekencang-kencangnya.Kali ini si kelinci mengerahkan seluruh kemampuannya dan focus pada garis finish. Kelinci tidal menoleh ke belakang dan duduk – duduk santai. Kura-kura mengucapkan selamat ataskemenangannya. “Falsafah alon-alon asal kelakon bisa dikalahkan dengan kesungguhan, semangat, focus pada tujuan akhir yang hendak dicapai”.
“Wah, kedudukan satu-satu ya ,” seru kura-kura. Untuk menentukan pemenangnya pertandingan digelar kembali. Kali ini kura-kura menentukan rute pertandingan. Merasa bahwa kemampuan larinya jauh lebih cepat dibandingkan kura-kura , kelinci menyetujui tawaran kura-kura.
Pertandingan dimulai. Kelinci langsung melesat memimpin pertandingan. Namun di tengah perjalanan sang kelinci berhenti karena rute yangharus dilewatiadalah sungai yang sangat lebar. Dan, sampailah kura-kura di tepian sungai dan menyapa si kelinci yang sedang gelisah, “ Maaf ya , saya nyebrang duluan.” Di pertandingan ke tiga ini kura-kuralah yang jadi pemenang. Untuk kedua kalinya kelinci menangis.
Kura-kura mendatangi kelinci. Sambil terisak kelinci berkata kepada kura-kura, : Ternyata kalau kita ingin memenangkan pertandingan kita harus bersaing seuai dengan core competence kita , ya “
Untuk menghibur kelinci, Kura-kura kemudian memberikan tawaran kepada kelinci. “ bagaimana kalau kita berlomba lag. Kali ini tidak ada yang kalah, semuanya menang. Caranya ,ketika di darat, kamu gendong saya. Ketika di sungai, saya gendong kamu,” kata kura- kura. Kelinci menerima tawaran kura-kura . ternyata pada pertandingan ke empat, waktu tempuh jauh lebih cepat dibandingkan sebelumnya. Akhirnya, kedua binatang itu sepakat bahwa kerjasama antara core competence yang berbeda akan menghasilkan prestasi yang jauh lebih baik. Yang lebih penting lagi, tidak ada yang merasa dikalahkan.
Bagaimana dengan perusahaan/ organisasi kita. Apakah kita masih saling bersaing di hadapan bos/ atasan? Kita merasa lebih hebat disbanding yang lain. Sepertinyafilosofi kura-kura dan kelinci bisa kita jadikan pelajaran. Masing-masing dari kita (antar departemen/ kesatuan) memiliki core-competence yang harus dimaksimalkan , bukan justru atas nama “mencari muka” kita saling “menarik”,tidak saling mendukung. Memaksimalkan core competence perusahaan/ organisasi akan menjadikan perusahaan/ pribadi kita akan semakin hebat, bukannya sebaliknya.
Lebih baik kita menunjukkan potensi terbaik yang kita miliki pada kelemahab orang lain. Akhirnya
“TEAM : Together Everyone Achieve More” benar-benar terjadi.
Catatan ini sengaja saya buat hari ini, 20 Mei 2010. Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo semuanya mengetahui, salah seorang tokoh Kebangkitan Nasional. Menjadi keinginan saya mengetahui banyak tentang beliau. Bekerja di Rumah sakit Umum Pusat Rujukan nasiona dr Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM), saya senang memilih rute ke tempat gawe melewati patung (tubuh) beliau.
Patung Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo seluruh tubuh ini terletak di halaman dalam RSUPN dr Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM). samping selasar, penghubung gedung poliklinik dengan selasar dalam, tepatnya klinik radiologi.
Cipto dilahirkan pada 4 Maret 1886 di desa Pecagakan Jepara. Bersekolah di STOVIA dan tamat tahun 1905.
Jurnalis yang politikus
Sejak tahun 1907 Cipto sudah menulis di harian De Locomotief. Cipto menulistentang kesenjangan yang terjadi ,situasi feodal dan kolonialisme yang menurut Cipto merupakan sumber penderitaan rakyat.Hal lain yang mengganggu Cipto, tentang perbedaan ras.Orang Eropa , menerima gaji lebih tinggi dari orang pribumi, dan beberapa hal lain. Tulisan-tulisan Cipto yang tajam dan pedas di harian De Locomotief, mengakibatkan Cipto sering mendapat teguran dan peringatan dari pemerintah. Untuk mempertahankan kebebasan dalam berpendapat Cipto kemudian keluar dari dinas pemerintah dengan konsekuensi mengembalikan sejumlah uang ikatan dinas.
Tjipto semakin terlibat dalam arus pergerakan nasional dengan ikut menggagas Budi Utomo (BU) pada 1908 dan menjadi komisarisnya. Karir Tjipto di BU tak lama, Ciptomengundurkan diri dari Budi Utomo yang dianggap tidak mewakili aspirasinya.
Selepas dari Budi Utomo, Tjipto menyatu dalam Tiga Serangkaibersama Douwes Dekker -yang menjadi guru jurnalistiknya- dan Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara. Mereka kemudian menerbitkan suratkabar berbahasa Belanda De Expres pada 1 Maret 1912.
Pada 19 Juli 1913,harian De Express menerbitkan suatu artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Als Ik Nederlands Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Artikel yang ditulis sebagai reaksi terhadap perayaan besar-besaran 100 tahun kemerdekaan belanda dari Perancis, yang direncanakan juga dirayakan di Hindia Belanda. Hal tersebut berakibat pada 30 Juli 1913 Cipto dan Suwardi dipenjarakan, pada 18 Agustus 1913 keluar surat keputusan untuk membuang Cipto bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker ke Belanda.
Selama masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto tetap melancarkan aksi politiknya dengan melakukan propaganda politik berdasarkan ideologi Indische Partij. Mereka menerbitkan majalah De Indier. Pada tahun 1914 Cipto diperbolehkan pulang kembali ke Jawa dan sejak saat itu dia bergabung dengan Insulinde, suatu perkumpulan yang menggantikan Indische Partij.
Propaganda Cipto untuk kepentingan Insulinde dijalankan pula melalui majalah Indsulinde yaitu Goentoer Bergerak, kemudian surat kabar berbahasa Belanda De Beweging, surat kabar Madjapahit, dan surat kabar Pahlawan.
Pada 9 Juni 1919 Insulinde mengubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP). Pada tahun 1918 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat).. Gubernur jenderal Van Limburg Stirum mengangkat beberapa tokoh radikal dengan maksud agar Volksraad dapat menampung berbagai aliran sehingga sifat demokratisnya dapat ditonjolkan. Salah seorang tokoh radikal yang diangkat oleh Limburg Stirum adalah Cipto. Cipto memanfaatkan Volksraad sebagai tempat untuk menyatakan pemikiran dan kritik kepada pemerintah mengenai masalah sosial dan politik. Pada 25 Nopember 1919 Cipto berpidato di Volksraad, yang isinya mengemukakan persoalan tentang persekongkolan Sunan dan residen dalam menipu rakyat.
Pemerintah Hindia Belanda menganggap Cipto sebagai orang yang sangat berbahaya, sehingga Dewan Hindia (Raad van Nederlandsch Indie) pada 15 Oktober 1920 memberi masukan kepada Gubernur Jenderal untuk mengusir Cipto ke daerah yang tidak berbahasa Jawa. Pada tahun itu juga Cipto dibuang dari daerah yang berbahasa Jawa tetapi masih di pulau Jawa, yaitu ke Bandung dan dilarang keluar kota Bandung.
Di Bandung, Cipto dapat bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda, seperti Sukarno yang pada tahun 1923 membentuk Algemeene Studie Club. Pada tahun 1927 Algemeene Studie Club diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI).
Pada akhir tahun 1926 dan tahun 1927 di beberapa tempat di Indonesia terjadi pemberontakan komunis. Cipto juga ditangkap dan didakwa turut serta dalam perlawanan terhadap pemerintah. Hal tersebut terjadi karena Ciptomemberikan uangnya sebesar 10 gulden kepada tamunya, untuk ongkos perjalanan menemui kerabat. Cipto dipanggil pemerintah untuk menghadap pengadilan karena dianggap telah memberikan andil dalam membantu anggota komunis dengan memberi uang 10 gulden dan diketemukannya nama-nama kepala pemberontakan dalam daftar tamu Cipto.Cipto kemudian dibuang ke Banda pada tahun 1928.
Terbuang selama 13 tahun di Bnada, penyakit asmanya kambuh. Beberapa kawan Cipto kemudian mengusulkan kepada pemerintah agar Cipto dibebaskan. NamunCipto diminta untuk menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke Jawa bila melepaskan hak politiknya.Cipto secara tegas , menyatakan lebih baik mati di Banda daripada melepaskan hak politiknya. Cipto kemudian dialihkan ke Makasar, dan pada tahun 1940 Cipto dipindahkan ke Sukabumi. Terakhir dipindahkan ke Jakarta, dan wafat pada 8 Maret 1943. Kekerasan hati Cipto untuk berpolitik dibawa sampai meninggal . Cipto dimakamkan di kampung halamannya di Watu Ceper Ambarawa
Cipto sebagai dokter
Sempat bekerja sebagai dokter pribumi pada dinas pemerintah di Banjarmasin (1905) dan di Demak (1906), Tjipto pernah dianugerahi tanda jasa Ridderkruis (lencana kehormatan Belanda) sebagai sukarelawan dalam pembasmian wabah pes di Malang pada 1910. Pernah praktek di Solo, setelah mengundurkan diri dari Budi Utomo . Mulai tahun 1920 , setelah terbit perintah pengasingan di Bandung, Ciptomenjalankan profesi kedokterannya selama 3 tahun keluar masuk kampung di Bandung.
Pahlawan Nasional
Cipto ditetapkan menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan SK Presiden RI no 109 tahun 1964. Sedangkan 2 mei1964 diabadikan menjadi nama RSdi kawasan Jakarta Pusat.
Di sinilah , aku berdiri …….
Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo masih tegak berdiri,jadi pandu kita semua
(gambarnya samudra saja , ya. Ini perairan sekitar pulau Belitung) Saya dapati dari milis, kiriman teman. Semoga bisa menjadi penyejuk.
Suatu ketika, hiduplah seorang tua. Paa suatu pagi , datang seorang pemuda yang sedang dirundung banyak masalah . langkahnya gontai dan air muka yang ruwet. Tanpa membuang waktu, pemuda itu langsung menceritakan masalahnya ke pak tua yang sebelumnya tidak dikenalnya. Pak tua hanya mendengar dengan seksamanya. Ia lalu mengambil segennggam garam dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air putih. Ditaburkannya garam dalam air di gelas, lalu diaduknya perlahan, “ Coba minum ini, dan katakan bagaimana “ ujar pak tua. “ Pahit, pahit sekali” jawab sang tamu.
Pak tua lalu mengajak tamunya ini ke tepi telaga dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu. Pak Tua itu lalu kembali menabur segenggam garam ke dalam telaga, dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang mengaduk- aduk dan tercipta riak air, mengusik ketenangan telaga. “ Coba, ambil air dari telaga ini, dan minumlah,” Saat tamu selesai minum air itu, pak tua berkata lagi “ bagaimana rasanya? “Segar,”sahut tamunya. ‘Apakah kamu merasakan garam di air itu?” tanya pak tua lagi. “ Tidak,” jawab si anak muda . Dengan bijaksana pak tua bicara, “Anak muda , dengarlah. Pahit kehidupan, adalah layaknyasegenggam garam, tak lebh dan tak kurang, jumlah dan rasa pahitnya itu adalah sama, dan memang akan tetap sama. “Tapi, kepahitan yang kita rasakan, akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu, akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya satu yang kamu bisa lakukan. Lapngkanlah dadamu menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu. “ pak Tua kembali memberikan nasihat , “ hatimu, adalah wadahitu. Perasaan adalah tempat itu, kalbumu adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.
Welcome to my blog! My name is Nury and I work as a Physical Medicine & Rehabilitation specialist. Through this blog, you can read stories about my daily life as a wife, a mother, and a doctor. Enjoy!