Catatan ini sengaja saya buat hari ini, 20 Mei 2010. Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo semuanya mengetahui, salah seorang tokoh Kebangkitan Nasional. Menjadi keinginan saya mengetahui banyak tentang beliau. Bekerja di Rumah sakit Umum Pusat Rujukan nasiona dr Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM), saya senang memilih rute ke tempat gawe melewati patung (tubuh) beliau.
Patung Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo seluruh tubuh ini terletak di halaman dalam RSUPN dr Cipto Mangunkusumo (RSUPN-CM). samping selasar, penghubung gedung poliklinik dengan selasar dalam, tepatnya klinik radiologi.
Cipto dilahirkan pada 4 Maret 1886 di desa Pecagakan Jepara. Bersekolah di STOVIA dan tamat tahun 1905.
Jurnalis yang politikus
Sejak tahun 1907 Cipto sudah menulis di harian De Locomotief. Cipto menulis tentang kesenjangan yang terjadi , situasi feodal dan kolonialisme yang menurut Cipto merupakan sumber penderitaan rakyat. Hal lain yang mengganggu Cipto, tentang perbedaan ras. Orang Eropa , menerima gaji lebih tinggi dari orang pribumi, dan beberapa hal lain. Tulisan-tulisan Cipto yang tajam dan pedas di harian De Locomotief, mengakibatkan Cipto sering mendapat teguran dan peringatan dari pemerintah. Untuk mempertahankan kebebasan dalam berpendapat Cipto kemudian keluar dari dinas pemerintah dengan konsekuensi mengembalikan sejumlah uang ikatan dinas.
Tjipto semakin terlibat dalam arus pergerakan nasional dengan ikut menggagas Budi Utomo (BU) pada 1908 dan menjadi komisarisnya. Karir Tjipto di BU tak lama, Cipto mengundurkan diri dari Budi Utomo yang dianggap tidak mewakili aspirasinya.
Selepas dari Budi Utomo, Tjipto menyatu dalam Tiga Serangkai bersama Douwes Dekker -yang menjadi guru jurnalistiknya- dan Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara. Mereka kemudian menerbitkan suratkabar berbahasa Belanda De Expres pada 1 Maret 1912.
Pada 19 Juli 1913, harian De Express menerbitkan suatu artikel Suwardi Suryaningrat yang berjudul “Als Ik Nederlands Was” (Andaikan Saya Seorang Belanda). Artikel yang ditulis sebagai reaksi terhadap perayaan besar-besaran 100 tahun kemerdekaan belanda dari Perancis, yang direncanakan juga dirayakan di Hindia Belanda. Hal tersebut berakibat pada 30 Juli 1913 Cipto dan Suwardi dipenjarakan, pada 18 Agustus 1913 keluar surat keputusan untuk membuang Cipto bersama Suwardi Suryaningrat dan Douwes Dekker ke Belanda.
Selama masa pembuangan di Belanda, bersama Suwardi dan Douwes Dekker, Cipto tetap melancarkan aksi politiknya dengan melakukan propaganda politik berdasarkan ideologi Indische Partij. Mereka menerbitkan majalah De Indier. Pada tahun 1914 Cipto diperbolehkan pulang kembali ke Jawa dan sejak saat itu dia bergabung dengan Insulinde, suatu perkumpulan yang menggantikan Indische Partij.
Propaganda Cipto untuk kepentingan Insulinde dijalankan pula melalui majalah Indsulinde yaitu Goentoer Bergerak, kemudian surat kabar berbahasa Belanda De Beweging, surat kabar Madjapahit, dan surat kabar Pahlawan.
Pada 9 Juni 1919 Insulinde mengubah nama menjadi Nationaal-Indische Partij (NIP). Pada tahun 1918 Pemerintah Hindia Belanda membentuk Volksraad (Dewan Rakyat).. Gubernur jenderal Van Limburg Stirum mengangkat beberapa tokoh radikal dengan maksud agar Volksraad dapat menampung berbagai aliran sehingga sifat demokratisnya dapat ditonjolkan. Salah seorang tokoh radikal yang diangkat oleh Limburg Stirum adalah Cipto. Cipto memanfaatkan Volksraad sebagai tempat untuk menyatakan pemikiran dan kritik kepada pemerintah mengenai masalah sosial dan politik. Pada 25 Nopember 1919 Cipto berpidato di Volksraad, yang isinya mengemukakan persoalan tentang persekongkolan Sunan dan residen dalam menipu rakyat.
Pemerintah Hindia Belanda menganggap Cipto sebagai orang yang sangat berbahaya, sehingga Dewan Hindia (Raad van Nederlandsch Indie) pada 15 Oktober 1920 memberi masukan kepada Gubernur Jenderal untuk mengusir Cipto ke daerah yang tidak berbahasa Jawa. Pada tahun itu juga Cipto dibuang dari daerah yang berbahasa Jawa tetapi masih di pulau Jawa, yaitu ke Bandung dan dilarang keluar kota Bandung.
Di Bandung, Cipto dapat bertemu dengan kaum nasionalis yang lebih muda, seperti Sukarno yang pada tahun 1923 membentuk Algemeene Studie Club. Pada tahun 1927 Algemeene Studie Club diubah menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI).
Pada akhir tahun 1926 dan tahun 1927 di beberapa tempat di Indonesia terjadi pemberontakan komunis. Cipto juga ditangkap dan didakwa turut serta dalam perlawanan terhadap pemerintah. Hal tersebut terjadi karena Cipto memberikan uangnya sebesar 10 gulden kepada tamunya, untuk ongkos perjalanan menemui kerabat. Cipto dipanggil pemerintah untuk menghadap pengadilan karena dianggap telah memberikan andil dalam membantu anggota komunis dengan memberi uang 10 gulden dan diketemukannya nama-nama kepala pemberontakan dalam daftar tamu Cipto. Cipto kemudian dibuang ke Banda pada tahun 1928.
Terbuang selama 13 tahun di Bnada, penyakit asmanya kambuh. Beberapa kawan Cipto kemudian mengusulkan kepada pemerintah agar Cipto dibebaskan. Namun Cipto diminta untuk menandatangani suatu perjanjian bahwa dia dapat pulang ke Jawa bila melepaskan hak politiknya. Cipto secara tegas , menyatakan lebih baik mati di Banda daripada melepaskan hak politiknya. Cipto kemudian dialihkan ke Makasar, dan pada tahun 1940 Cipto dipindahkan ke Sukabumi. Terakhir dipindahkan ke Jakarta, dan wafat pada 8 Maret 1943. Kekerasan hati Cipto untuk berpolitik dibawa sampai meninggal . Cipto dimakamkan di kampung halamannya di Watu Ceper Ambarawa
Cipto sebagai dokter
Sempat bekerja sebagai dokter pribumi pada dinas pemerintah di Banjarmasin (1905) dan di Demak (1906), Tjipto pernah dianugerahi tanda jasa Ridderkruis (lencana kehormatan Belanda) sebagai sukarelawan dalam pembasmian wabah pes di Malang pada 1910. Pernah praktek di Solo, setelah mengundurkan diri dari Budi Utomo . Mulai tahun 1920 , setelah terbit perintah pengasingan di Bandung, Cipto menjalankan profesi kedokterannya selama 3 tahun keluar masuk kampung di Bandung.
Pahlawan Nasional
Cipto ditetapkan menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional dengan SK Presiden RI no 109 tahun 1964. Sedangkan 2 mei 1964 diabadikan menjadi nama RS di kawasan Jakarta Pusat.
Di sinilah , aku berdiri …….
Dr. Tjipto Mangoenkoesoemo masih tegak berdiri, jadi pandu kita semua
Dokter Indonesia, bangkit
No comments:
Post a Comment