Thursday, July 14, 2011

Naik kereta api….tut..tut..tut……………….




<!--[if gte mso 9]> Normal 0 false false false EN-US X-NONE X-NONE

Tidak mengerti dengan jenis atau kelas dalam perkereta apian, saya mengiyakan saja saat diberitahu kami (saya dan dua teman lagi) akan menumpang Cirebon Expres (Cirex) dengan kelas bisnis. Pulang dari Tegal di hari terakhir libur sekolah,hari minggu ke dua Juli 2011, ternyata semua ticket terjual habis. Ticket di pesan dari Jakarta, saat di Tegal, dr Iwil , kepala regu merangkap seksi transportasi,saat menukarkan bukti pesanan dengan ticket, mendapati pembeli karcis tanpa nomer kursi. Kami mendapatkan karcis seharga Rp.85.000 dengan nomer kursi, dijual seharga Rp. 18.000 tanpa kursi, terbayang akan uyel-uyelan.

Ini kereta api ketiga saya tahun 2011, sebelumnya, bulan saat pulang pergi Klaten, kami berangkat dengan Argo Dwipangga dan pulang dengan Argo Lawu. Tahun lalu saat ke Pekalongan mondar-mandir dengan Argo Anggrek dan Argo Bromo. Saya search google dan mendapati pada Wikipedia, kelas-kelas perkereta apian. Tertulis kelompok Argo merupakan kelas tertinggi. Selanjutnya ada kelompok Retrofit, sekelas Argo, tetapi bukan Argo. Setelah itu kelas public. Cirex termasuk kelompol kelas public, terbagi atas kelas exekutif dan kelas bisnis. Kereta Bima, yang seingat saya kependekan dari Biru malam termasuk sekelas dengan Cirebon ekspres. Saat saya mahasiswapun belum, ayah saya masih anggota DPR-RI, sering menjenguk eyang di Surabaya dengan Bima. Kursinya dulu bisa dijadikan tempat tidur, tidak ruang terbuka bersama, namun dalam bentuk ruang, berdua dalam satu kamar, merupakan kereta api unggulan pada masa itu. Bima sekarang bentuknya seperti apa ya? Kelas dibawahnya lagi merupakan kelas komersial , mencakup kereta eksekutif dan bisnis. Termasuk disini kereta Senja Utama, yang menjadi inpirasi lagu Kereta Senja yang popular tahun dinyanyikan Masni Towijiyo. Selanjutnya Kelas ekonomi unggulan dan kelas ekonomi. Kereta kelas ekonomi unggulan dan ekonomi tidak saya kenal atau pernah saya kenal, sepertinya belum pernah jadi rute saya.

Mendadak ke Tegal, pergi dengan travel, pulang cari sedapatnya, dapatlah kami Cirex yang kelas bisnis. Pada Wikipedia tertulis melayani Gambir – Cirebon, ternyata kereta api ini melayanni Gambir- Tegal. Cirex dari Tegal pk 6.00 pagi, pada papan di setasiun Tegal tertulis tiba di Gambir pk 10.32. Menurut saya jadualnya cukup tepat. Pk 10.32 sudah mendekati setasiun Jatinegara. Dua teman turun di setasiun Jatinegara, beberapa saat sebelum Jatinegara, terpaksa pindah beberapa gerbong ke depan. Cirex yang cukup panjang, 5 gerbong exekutif, kereta makan, dan tiga gerbong bisnis, gerbong kami gerbong bisnis no satu, sehingga paling ujung belakang, dipastkan gerbong terakhir pastinya pada wilayah yang ketinggian lantai setasiun dan pintu masuk gerbong sangat tinggi. Seorang teman sudah tak mungkin turun sangat tinggi, sedangkan sekarang layanan kereta api tidak lagi menyediakan tangga untuk naik turun kereta api.

Saya ingat-ingat saat masuk gerbong Cirex, saya mengenalinya seperti dalam gerbong kereta Limex (itu dulu). Limex merupakan kependekan Limited Expres , rute Jakarta Surabaya , kalau tak salah. Masa jayanya kereta api, Limex dingin ber AC, ini berkipas angin, 4 buah pada gerbong kami. Pada Limex dulu yang merupakan kereta malam, ticket kereta, termasuk makan malam. Kereta yang dulu bersih, dengan layanan pramugari dan pramugara kereta api, sekarang tampil seadanya, bahkan saat turun di Gambir, saya melihat bagian luar kereta api yang sudah berkarat. Apa ini bekas Limex ya? Cirex kami akan kembali lagi ke Tegal, terjadual pk 11.00. saya dapati keterangan ini dari penumpang yang naik dai jatinegara, sekeluarga, bapak ibu dan tiga anak. Sang ayah mengatakan ke pada rombongannya,”duduk saja, cari yang kosong”. Segera kelompok keluarga yang akan ke Tegal ini menempati bangku kawan saya yang turun di Jatinegara. Mungkin membeli karcis yang Rp 18.000,- ya.

Kereta api sejenis Argo pun tak mengalahkan service kereta api masa saya masih sering mondar-mandir Jakarta – Surabaya. Saat ke Klaten menghadiri gawe dr Loyke, kereta apa kami Argo Dwipangga, dengan tempat meletakkan barang seperti pada cabin pesawat, terkotak-kotak dan ada tutupnya. Kami meletakkan barang, terbiasa di pesawat, yang pintu bagasi cabin ditutupkan pramugari, kami diamkan saja terbuka, he, sampai berjalan ya tetep terbuka, regulasinya ternyata menutup dan nantinya membuka untuk mengosongkan sendiri. Pulangnya dengan Argo Lawu, tempat barang seperti kereta api biasa, namun kondekturnya rapi dan lumayan ganteng, sementara saat pada Argo Dwipangga,pak kondektur seperti habis mandi bru-buru karena terlambat bangun. Pada Argo Lawu saat kembali dari Klaten, kacanya tampak “pecah” dan memang saat lepas Cirebon, saya terkaget karena memang ada yang melempar dengan batu.

Kalau Cirex sepertinya bekas Limex, apa kelompok Argo bekas kereta api dari Jepang ya?




No comments: