<!--[if gte mso 9]>
Sabtu pertama,Juli 2011, mendadak Purbalingga karena dr Mulyadi Yanto mengundang. Dr Mulyadi kawan kami mukim di Purbalingga. Panggilannya Jiang, tentu saja dengan cepat diketahui, pak dokter ini Indonesia bersuku Tionghoa. Tionghoa ditetapkan menjadi salah satu suku di Indonesia berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Pak dokter yang juga anggota DPRD kabupaten Purbalingga masa bakti 2009- 2014, komisi A merupakan perwakilan partai yang berlambang banteng moncong putih, mengundang syukuran pernikahan putranya , dengan kata kunci pesta rakyat dan lengger.
Saya segera mencari penjelasan lengger. Saya mendapati istilah ronggeng sebagai padanan lengger, lengger dan ronggeng dibedakan oleh wilayah sebarannya. Lengger lebih berkembang di sisi kiri aliran sungai Serayu, sedangkan ronggeng berkembang di sisi kanan sungai Serayu. Namun pada intinya kedua-duanya sama, tarian rakyat yang diiringi dengan menggunakan perangkat musik calung, krumpyung ataupun ringgeng. Pak polisi yang ikut mengamankan jalannya pesta rakyat dr mulyadi menceriterakan kepada pak Slamet, asisten wara-wirinya dr Bimo, lengger ini dulu pernah dilarang, dan dr Mulyadi berusaha menggali kembali kesenian daerah Banyumas yang konon dilarang karena dianggap melanggar Undang-Undang Pornografi dan Pornoaksi.
Dari Slawi sekitar pk 16, kami sampai di kediaman dr Mulyadi sekitar pk 19. Ini pesta babak ke tiga. Hari Jumat malam, pesta untuk kerabat desa tempat dr Mulyadi mukim dan bekerja, barangkali lebih tepat tetangga, namun bukan Cuma tetangga kanan dan kiri, tetapi tetangga desa. Sabtu pagi pejabat sedangkan malam kami datang, pesta rakyat untuk konsituen dr Mulyadi berasal, pesta rakyat dan dr Mulyadi mengeluarkan simpananya, lengger.
Pesta rakyat ditengarai dengan kehadiran tamu dr Mulyadi dari segenap lapisan masyarakat, ngga perduli bersandal jepit ataupun bersepatu import. Lintas agama tampak dari asesori busana panitia dan tetamu. Dr Mulyadi menyambut kami langsung di depan pintu, sampai kami perlu mendapat penjelasan, bahwa yang kami salami pengantinnya, he, pesta rakyat dalam acara ngubduh mantu, kalau menurut istilah Jawa, pengantin tidak berbusana resmi, jas dan gaun berenda yang berekor. Pengantin dan seluruh keluarga berbusana batik nuansa merah sesuai warna partai dr Jiang.
Lengger di tampilkan pk 21.00 hingga pk 23.00. tiga dara cantik bernama jeng Desi, jeng Yanti, walah, satu lagi lupa, dandan cantik bersanggul dengan bunga melati ala bu Tien Soehato. Diiringi dua sinden dan seperangkat gamelan ke tiganya menari lincah enerjik. Setelah dua tarian berturutan, yang menguras tenaga sehingga keringat bercucuran, mulai tampil penonton laki-laki dengan saweran. Malam mulai hangat, sampur berpindah ke tetamu, tidak terbatas tetamu lelaki. Bu Iwil ikutan nyawer, agar ke tiga lengger dapat saweran semua. Penabuh gendang utama memandu acara dengan penuh semangat. Lengger selesai menjelang pk 23. Penari dan pengiring dengan dua sinden lelah namun tampak bahagia. Kami merupakan tamu nyaris pertama dan nyaris terakhit. Pk 23 meninggalkan Purbalingga, lewat Purwakarta kembali ke Slawi. Tiba di Slawi pk 2 dini hari. Sepanjang jalan saya dan bu Eva tidur, bu Iwil menemani asisten wara-wiri dengan mengajak berbincang. Saya mendengarkan ambil sebentar merrem, sebentar melek.
Saya masih ingin kembali, mengamati simpenan dr Mulyadi, lengger dengan 2 perangkat gamelan yang berlatih 3 kali per minggu. Mau ikut?
No comments:
Post a Comment