Tuesday, March 27, 2012


Berapa langkah anda per hari?

Pernah mendengar tentang 10 000 langkah per hari? Suatu perusahaan susu ternama pernah mengadakan berjalan bersama sebanyak 10 000 langkah. Dari google saya dapati panjang langkah ras Kaukasia sekitar2,5 kaki, dengan demikian 10 000 langkah setara 5 mil. Berapa langkah anda sehari? Bila antara 1000 hingga 3000 per hari, maka anda tergolomg orang yang kurang bergerak (sedentary)

Mengapa berjalan

Pada dasarnya berjalan merupakan olah raga pilihan , yang tidak saja murah, nyaris gratis, juga mengikut sertakan seluruh sistem tubuh. Berjalan tidak saja merupakan gerakan angota gerak bawah membawa badan maju, anggota gerak bawah ini terdiri dari otot, tulang, syaraf yang menggerakkan dan pembuluh darah yang member nutrisi dan oksigen sebagai bahan bakar agar dapat (tetap) bergerak.

Sepuluh ribu langkah

Berjalan sebagai bagian dari olah raga tentu saja harus dengan dosis, dosis ini bisa di “sampaikan” dalam bentuk waktu yang biasanya sebagai 30 menit, 45 menit bahkan satu jam. Jarak juga bisa ditentukan, misalnya 10 kali putaran stadion utama gelora Senayan. Jumlah langkah merupakan suatu bentuk perjanjian dosis latihan. Pada pencegahan osteoporosis dibentuk kesepakatan dengan berjalan 10 000 langkah.

Berjalan dan osteoporosis

Berjalan merupakan olahraga terbaik pada pencegahan osteoporosis.

Berjalan dengan paparan matahari yang bersinar tidak saja memberikan tulang yang kuat karena berjaan tergolong olag raga erobik dengan beban, namun juga kulit yang terpapar sinar matahari membantu mengabsorbsi vitamin D.

Bila osteoporosis sudah terjadi, berjalan menjadi sangat penting untuk memperlambat hilangnya tulang yang telah terjadi.

Keuntungan lain dari berjalan, membangun otot dan memperbaiki keseimbangan yang akan mencegah jatuh, dengan demikian mencegah patah tulang, yang terjadi dengan mudah pada seseorang dengan osteoporosis.

Berapa jarak yang ditempuh?

Penelitian dengan 123 subyek orang Indonesia (58 laki-laki) mendapati panjang langkah saat berjalan cepat. Panjang selangkah laki-laki satu langkah rata-rata 0,78 meter, sedangkan perempuan 0,69 meter. Hal tersebut berarti, tiap 1000 langkah laki-laki berarti 780 m, sedangkan 10.000 langkah akan mencapai 7800 m. pada perempuan, sepuluh ribu langkah berarti 6900 meter.

Menuju sepuluh ribu langkah

Jumlah langkah sehari-hari dibawah 3000 langkah, menunjukkan kelompok tidak bugar, namun menuju 10 000 langkah, hendaknya dicapai secara bertahap, dengan cara meningkatkan 500 langkah perhari setiap minggunya. Misalnya: jumlah langkah 3000 per hari, minggu ini menjadi 3500 langkah, minggu ke dua menjadi 4000 langkah. Bila ditingkatkan 500 langkah per minggu, maka akhir minggu ke 14 telah tercapai tujuan 10. 000 langkah.

Manfaat berjalan

Berjalan tidak saja mencegah dan memperbaiki osteoporosis. Berjalan berdampak : Membakar kalori ; Menguatkan otot punggung ; Melemaskan persendian ; Menguatkan tulang ; Memperbaiki tekanan darah; Menurunkan stres ; Menurunkan resiko gangguan jantung, diabetes; Menurunkan kolesterol; Menurunkan lingkar pinggang; Mengencangkan panggul dan otot kaki; Tidur lebih nyenyak.

Tips berjalan cepat

  1. Jaga postur tubuh yang baik. Berdiri lurus, pandangan ke depan, dagu rata, dengan kepala tegak.
  2. Dada membusung dengan bahu santai ( bahu tidak tegang terangkat)
  3. Lengan mengayun dengan tekukan kurang dari 90 derajat . tangan mengepal ringan. Ayunkan lengan atas ke depan dan belakang, tidak melamlaui tulang dada . ayunkan lengan dengan cepat, dengan demikian kaki akan mengikut
  4. Kencangkan otot perut dan otot bokong. Luruskan punggung dan rasakan panggul bergerak sedikit ke depan.
  5. Berimaginasi berjalan pada garis lurus
  6. Berjalan di mulai dengan mengangkat ibu jari kaki dan berakhir dengan meletakkan tumit. Rasakan gerakan otot betis yang berirama.
  7. Bernafas dengan alamiah. Saat berjalan, tarik nafas dalam, berirama. Berjalan cepat yang

    baik, bila kecepatnnya berjalan tidak menganggu pernafasan

Yang jangan dilakukan

1. Jangan melangkah terlalu panjang
2. Jangan menggerakkan lengan terlalu keras
3. Jangan memandang ke tanah
4. Jangan menjinjing benda berat

Pedometer

Pedometer merupakan alat penghitung langkah. Salah satu perusahaan susu pernah membagikan pada acara berjalan bersama, namun di Indonesiapun ada yang memasarkan. Cobalah pergunakan dari mulai bangun tidur hingga tidur lagi.

Selamat berjalan, selamat ber olah raga……………..

Sumber:

Nury Nusdwinuringtyas: Rumus Ambilan Oksigen Maksimal yang Diperoleh dari Hasil Uji Jalan Enam Menit sebagai Parameter Kapasitas Fungsi Dewasa Sehat di Indonesia- 11 Januari 2011 (disertasi)

Nury Nusdwinuringtyas : Sepuluh Ribu langkah : Simposium Awam Osteoporosis RS Pelni; 26 November 2011

Thursday, March 22, 2012

Semalam di Wonosobo

Kunjungan ke Jogya di akhir minggu ke dua bulan Maret 2012 menjadi ber”warna” karena diundang menginap di kediaman dr Dimyati A. SpB dan istri. Saat saya tanyakanbeliau berpa jam jarak Kogya ke Wonosobo, beliau menyebutkan tiga jam. Tiga jam, untuk orang Jakarta, yang terbiasa bergaul dengan kemacetan, bukanlah masalah. Undangan segera saya terima. Beruntung teman seperjalanan saya dr Alinda Rubiati wobowo SpA (K) menyetujui. Pertemuan yang menyenangkan dan mengharukan. Saya dan dr Dimyati, seangkatan saat di fakultas Kedokteran, sedangkan beliau dan dr alinda Rubuati, teman saat melaksanakan wajib kerja, yang saat itu dikenal sebagai Inpres di wiayah lampung. Berikut saya sampaikan kisah perjalanan kami.

Bandara Soekarno- Hatta Tangerang

Penerbangan Garuda ke Jogya pk 7.50, namun asisten wara-wiri merekomendasikan dari rumah di kawasan Joglo pk 4.30. Saya “tawar”, akhirnya berangkat setelah sholat subuh. Tiba di bandara masih gelap, duduk di gerai KFC menanti dr Alinda Rubiati SpA (K) dan dr Chabib A, teman seperjalanan. Bungsu saya minta menemani dulu, sambil sarapan. Langit sudah nampak terang ketika kami menjadi lengkap. Check-in, bertiga sederet dapat kursi paling buntut. Menanti boarding di lounge garuda, karena ke dua teman punya kartu Garuda frequent flyer, keceriaan yang dimulai saat kami bertiga bergabung, dilengkapi duduk deketan tak sengaja dengan sepupu ayah, dr Soepardiman SpOG dan istri, dr Lily Soepardiman SpKK. Wah, langsung di abadikan dan di FB kan.

Foto dengan tante Lily

Bandara Adisucipto- Jogya

Turun kesannya biasa saja, saya membuat foto sambil menanti turun. Di setelah dr Chabib bersalin dari kaos ke batik, kami memesan taksi untuk ke tempat resepsi. Menjadi beda setelah kami berjalan keluar. Pintu keluar (ternyata) berbeda dengan pintu keberangkatan. Melalui selasar panjang, beberapa kali naik dengan ekskalator. Jadilah kami berfoto di pertengahan selasar, si tempat instalasi seni berupa kuda(?). Mbak cantik pemandu kami ke taksi yang menyarankan membuat foto, menerangkan, selasar ini belum lama dibuat. Muncul di tempat yang nyaman, tampak ada halte bus. Wah, mesti eksplore keliling bandara rupanya.

Grha Sarina Vidi Jalan raya Magelang

Tiba di tempat resepsi saat ada upacara adat, terdengar dari luar, sedang berlangsung acara adat. Kami tiba lengkap dengan koper yang diitipkan di beranda pengisian buku tamu. Masuk ke ruang resepsi, di pintu disambut dr Nanuk Rajawali dan istri, kami “ngetem” dulu- kangen-kangenan. Lha ini merangkap acara reuni. Masuk ke dalam, acara adat pada tahapn suap-suapan, kami mencari tempat duduk, tak jauh dari “panggung” , sang empunya gawe melihat kami, kami saling melambai, dan seperti biasanya, saya menggunakan kamera sebagai kartu untuk mendekati panggung mengabadikan.


Kledung

Dokter Dimyati dan istri mengajak kami ke Wonosobo melewati Kledung. Kledung ! selama ini saya hanya mendengar disebut-sebut. Dr Dimyati menyebut sebagai Kledung Pas, ada hotel. Semoga suatu saat bisa kembali. Sepanjang perjalanan saya membuat foto, sudah menyejukkan jiwa.

Wonosobo

Dari kediaman dr Dimyati, tampak gunung Sumbing dan gunung Sindoro, persis seperti bayangan yang terbentuk pada angan-anagn saya, karena dr Dimyati pernah mengirim foto pada BBM group, saat gunung Sindoro batuk. Rumah kediaman dokter Dimyati dimulai dengan musola yang menyambung dengan ruang praktek. Ruang praktek bersebelahan dengan ruang tamu dan garasi di belakan ruang praktek. Rumah dunia akhirat ini memberikan kesempatan pasien bersama anggota keluarga untuk bisa sholat (berjamaah). Sejuk di jiwa…

Lepas magrib yang mengesankan, karena empunya rumah menjadi imam kami di musholanya, kami keluar rumah menuju mie ongklok. Disopiri seorang dokter bedah, tentunya tidak hanya asal sampai, namun lengkap dengan dongeng seputar Wonosobo. Tercerita , kota Wonosobo merupakan wilayah yang tidak datar. Pada radius 100 meter, selalu ada perbedaan ketinggian, bahkan alun-alun, sisi Utara lebih tinggi dari sisi Selatan. Alur lalu lintas di atur searah, karena jalan di kota Wonosobo relative sempit, jadi bukan mengantisipasi macet.

Mie Ongklok

Mie ongklok ini memang “permintaan” saya, saat ber BBM, dan ada rencana untuk ke Wonosobo, saya search Google, dan mendapati mie ongklok sebagai makanan khas Wonososbo. Dr Dimyati sejak pada perjalanan dari Jogya sudah mencari resto mie ongklok. Ditemukan mie ongklok pak Muhadi yang buka dari siang hingga pk 19.00 . Kami datang sudah mendekati pk 19, namun selebriti wonosobo kami, dr Dimyati dan istri, sudah pesan tempat, jadi oke-oke saja. Mie kuning tipis ini di masak dengan kuah daging sapi yang dikentalkan menggunakan tepung Pati, dengan kol, sawi dan kucai. Istimewanya pada penelusuran saya, disantap bersama sate sapi.

Gambar mie ongklok

carica

Menurut saya carica eksotis, sudah saya buat dongeng tersendiri. Sepupu suami berkomentar pada ulasan saya, kala mentah pahit sekali, dr Dimyati

Alun- alun

Menurut telusuran google sesaat setelah saya menerima tawaran dr Dimyati untuk inap di Wpnosobo : sesuatu yang patut dikunjungi, sehingga menjadi permintaan saya untuk diagendakan. Alun-alun saya dapati luas, tertata rapid an bersih. Saya menelusuri google, namun tidak mendapati berapa luasnya. Ada lapangan hijau di tengah yang menampung beberapa lapangan olah raga, “ruang” untuk latihan berkelompok (saya lihat kelompok Satria Nusantara), ada track memutar yang cukup luas, di arah luarnya terdapat area yang dipergunakan pedagang kaki lima menjual aneka rupa, makanan lengkap dengan meja atau gelaran tikar, baju hingga keperluan berdandan dan furniture. Semuanya tertampung tanpa kesan berdesakan.

Soto pak Broto

Menyusuri dari sudut kediaman walikota, menyusuri track berbalikan arah jarum jam, pada sisi pertemua Timur dan Selatan, bu Elly Dimyati mengajak keluar arena, menuju soto pak Broto. Soto sudah disiapkan dalam mangkuk soto, ada yang sudah dengan nasi, namun bisa minta tanpa nasi, yang kalau Di Jakarta disebut kosongan. Menunggu pesanan, saya melihat “asesori”, ada sate ampela-ati, sate telur puyuh, perkedel, dan tentu saja krupuk. Soto datang dengan cepat,..mmm…rasanya seperti soto Bangkong Semarang. Saya dapati (kemudian), gerai soto di Wonosobo mencantumkan sebuta soto Semarang, saya mendapati satu yang bertuliskan soto (ayam kampong) wonosobo. Kali ini saya sempat menemani dr Dimyati membayar, untuk 5 orang dengan 3 soto dengan nasi, 2 soto tanpa nasi dang setiap orang menambah dengan kudapan lain, Rp 50.000,- pun masih ada kembaliannya.


Perkebunan teh Tambi

Saya tidak mengira, secangkir teh yang kita hirup, prosesnya panjang. Perkebunan the Tambi melakukan kontrol kualitas berjenjang, mulai dari kadar daun yang di petik hingga uji yang memastkan tak ada kandungan berbahaya, serta menyinpan sample produk yang sudah dipasarkan untuk kontrol apabila ada klaim. Semoga saya bisa membuat laporan lengkapnya.

Masih banyak yang bisa kita lihat di Wonosobo, kayu Albasia, jamur, kentang dan kubis di Dieng.

Semoga bisa berkunjung kembali….

Toilet di Alun-Alun Wonosobo



Minggu ke dua bulan Maret 2011, saya mengunjungi alum-alun Wonosobo, acara yang diatur bu Elly dan suami, dr Dimyati Ahmad SpB. Sukses mengitari nyaris tiga perempat alun-alun Wonosobo, bu Elly Dimyati mengajak sarapan di Soto pak Broto. Gerai soto pak Broto ini terletak dekat sudut Tenggara alun-alun. Pada sudut ini ada “bangunan” kuning menarik mata, ternyata toilet!

Wonosobo terkenal sebagai kota yang bersih. Alun-alun menjadi ikon kota dan tempat pertemuan warga. Saya jumpai penuh aktivitas, olah-raga, bertransaksi mulai makanan hingga peralatan rumahtangga termasuk furniture. Terbayang jumlah manusia yang berada di alun-alun dan sekitar, namun mendekati pk 8.00 , saya jumpai toilet yang tetap bersih, tak tercium bau yang tak diinginkan. Toilet yang disediakan Dinas Pekerjaan U,um (DPU) ini tidak di “sembunyikan” , terletak pada sudut yang nampak dari segala arahm dihiasi tanaman hijau disekitarnya.

Tentu saja kebersihannya tidak saja dijaga oleh petugas DPU, namun juga dengan disertai partisipasi warga, yang peduli kebersihan.

Bravo Wonosobo !

Thursday, March 15, 2012

Carica Dieng


Rasanya seperti peach in syrup.....

Carika , lengkapnya Carica papaya, merupakan tumbuhan yang berasal dari Meksiko bagian selatan dan bagian utara dari Amerika Selatan, yang telah menyebar luas dan ditanam di wilayah tropis. Di Indonesia, dikenal sebagai papaya,konon diambil dari bahasa belanda “papaja”, yang ternyata mengambil nama darai bahasa Arawak “papaya”.

Saat terpastikan saya dan seorang teman , dr Alinda Rubiati SpA (K) akan memenuhi undangan sahabat dr Dimyati Ahmad SpB dan istri,untuk inap di Wonosobo, saya berkomunikasi dengan ibu Elly Dimyati, menanyakan apa yang khas yang bisa saya peroleh dari wonososbo dan sekitar, ibu Elly menyebut Carika (dibaca- Karika). Kalau disebut Carica, yang dimaksud bukan papaya pada umumnya, namun papaya mini yang hanya ada di tiga tempat di dunia, Indonesia (hanya di Dieng), Brazil (Amerika Tengah). Buah bernama latin carica candamarcensis hok ini tumbuh dikatakan disemua rumah penduduk Dieng yang berada pada ketinggian 2000 meter diatas permukaan laut, namun bila ditanam diuar Dieng, akan menjadi papaya biasa. Sore hari saat tiba di kediaman dr Dimyati, tak lama kemudian datang hantaran carica basah, yang disebut sebagai carica in syrup. Ngga tahu harganya, bu Ely yang bayar, aduh…terima kasih. Mas yang mengantar menyebutnya dengan nama gandul, asisten rumah tangga ayah kami yang asli Wonosobo menyebutnya kates.

Saya penasaran, masa iya tak ada bentuk lain, yang kering. Saya dapatkan versi keringnya saat makan siang menjelang ke Jogya. Selain tas saya kecil, ternyata hanya tersedia 5 botol kemasan, saya bermaksud menambah, setelah membeli tas di bandara Adisucipto, eh, ngga ada. Eksklusif Dieng nampaknya. Pagi sebelum pulang kami sempat berupaya ke Dieng, namun di perkebunan teh Tambi tak kalah menariknya, sehingga tak cukup waktu untuk ke Dieng, saya tak bisa melihat dan memfoto buah aslinya. Saya sertakan foto manisan basah dan keringnya saja (dulu). Pada penelusuran ternyata carica candamarcensis hok ini syrup, selai dan juice. Patut dicari.

Wonosobo, aku kan kembali. Dieng, semoga dapat didaki…