Dapat sedos besar rambutan rapiah, eh , kok pikiran saya jadi melantur. Saat saya kecil, rambutan rapiah yang saya kenal gundul. Rupanya rapiah harus gundul, sudah memasyarakat, sehingga sering saya jumpai penjual rambutan mencukur rambutannya. “Kalau ngga gundul , ngga laku bu”, kilahnya. Lha. Konon, mangga yang dikupas dan dijajakan ditepi jalan , diberi pewarna kuning agar menarik, selain pemanis. Oo… Itu yang skala rakyat jelata. UUD (Ujung-Ujungnya Duit) …., agar dapat sesuap nasi.
Jaman pilkada gini, tadi pagi di televisi, terberita di suatu tempat , bapak anu dipilih karena sering memberikan sumbangan materi, antara lain jembatan atau mengaspal jalan ya, saya tidak terlalu mencermati. Untuk acara kumpul pernyataan dukungan warga , beliau menyumbang dua juta rupiah , dana konsumsi. Jadi , urusannya uang juga. Hubungannya dengan jujur? Perlu dana, dari mana ya. Yang “dicukur” apa, atau siapa ya?
Becik ketitik olo ketoro, kata orang Jawa . Terjemahan Indonesia bebasnya yang baik ataupun buruk , akhirnya akan nampak. Strata sosial lebih tinggi, yang dicukur juga lebih besar (mungkin). Penjual buah mengatakan ini bohong yang ngga apa-apa, ngga merugikan orang lain. Kalau ngga gitu dagangannya ngga laku, ngga dapat uang. White liar?
Yang lebih tinggi, white liarnya apa , ya ?
No comments:
Post a Comment