Hari Rabu, 28 Februari, dalam rangka Dies natalis ke 57 Universitas Indonesia 2007, dekanat Fakultas Kedokteran mengundang ibu Dr. Ir. Illah Sailah MS. dari IPB berbicara dengan topik ”Peran Soft Skills dalam Pendidikan Dokter”. Saya baca undangan mencakup semua jajaran staf pengajar dan juga mahasiswa.
Apa itu soft skills? Dari paparan yang disampaikan, saya menangkap soft skills itu adalh sikap dasar perilaku. Di Malaysia, menurut Ibu Illah, jujur dan 4 hal lain merupakan soft skills yang perlu untuk anak-anak dan akan menjadi tumpuan soft skills yang lain. Pihak pimpinan FKUI memandang perlunya soft skliis diberikan pada mahasiswa, untuk bekal terjun di rimba kehidupan. Dari tanya jawab, tertangkap bahwa soft skills sesungguhnya merupakan tanggung jawab ”pendidik” mulai TK hingga perguruan tinggi. Saya beri tanda petik pada pendidik, karena saya menarik lebih ke belakang lagi, pendidikan di rumah. Sesungguhnya bukannya tidak disadari pendidikan dimulai dalam kandungan, ibu hamil mendengarkan musik, mengajak anak bercakap, namun sekilas yang nampak tujuan utamanya nilai akademis yang tinggi.
Saya hanya ingin berbagi tentang pengalaman saya mengasuh dua orang anak saya. Saat saya ingin perkembangan perilaku (yang bahasa kerennya soft skills)-nya baik, yang dihargai di sekolah nilai akademiknya.
Saya mempunyai 2 orang anak, yang pertama perempuan , dan yang bungsu laki-laki. Yang perempuan ranking satu sejak taman kanak-kanak (ini dia, taman kanak-kanak saja ada rankingnya), sangat diterima lingkungan sekolahnya. Guru, teman, semua menyanjung, karena anak saya menghasilkan piala juga untuk berbagai lomba, yang tentu saja menjadi kebanggaan sekolahnya. Entah mengapa, meskipun anak saya yang kedua tidak ”nakal”, sangat manis untuk anak laki-laki, saya mendapat laporan tahunan alias rapor yang mencatat C untuk kemampuan berimaginasi, dan juga untuk hal lain. Setahu saya, anak saya ini daya khayalnya tinggi, bahasa tuturnya baik , dan dengan bahasa Indonesia yang baku. Persepsi yang berbeda ini berjalan terus hingga anak saya duduk di SMP.
Anak saya yang pertama dan kedua berbeda usia 5 tahun, dan merupakan anak mahal dalam arti kata sesungguhnya dan kiasan. Saya harus berbaring penuh 7 minggu agar bisa dipertahankan dalam kandungan. Riwayat itu pula yang membuat saya mewaspadai kemampuan akademisnya. Pertama kali saat usia mendekati lima tahun saya bawa ke Lembaga Psikologi Terapan di Salemba. Psikolog yang saya jumpai sengaja yang belum mengenal saya. Jawabannya, anak saya OK, konsentrasi bagus, dan lain-lain. Tapi tetap saja nilai yang didapat tak sesuai dengan ”kemampuan” yang didapat dari hasil test psikologi. Hal ini berlanjut hingga ke bangku SMP.
Kisah anak saya yang perempuan, nilainya selalu bagus, tetapi beberapa soft skills di rumah menurut saya kurang berkembang. Di sekolah, anak saya yang perempuan, selain akademik , soft skills-nya di puji para guru .
Solusinya, saat masuk fakultas kedokteran, saya mengatakan kepada anak perempuan saya, ”OK, kamu tidak harus mengejar nilai yang terbaik seperti saat di bangku TK hingga SMA. Tapi, harus ada kompensasi kegiatan di luar bidang akademik yang formal.” Sekarang, menurut saya, soft skills-nya sangat bagus, di rumah maupun pada pergaulan. Mengikuti berbagai kegiatan di kampus hingga pernah menjadi Regional Chairperson (ketua) Indonesia untuk suatu perhimpunan mahasiswa kedokteran se-Asia Pasifik, hingga ikut Pemilihan Abang & None Jakarta (masuk final lho!).
Adiknya, yang dari taman kanak-kanak hingga SMP , mengikuti sekolah kakaknya, sehingga selalu dibandingkan dengan kakaknya, saya pindah ke sekolah International (berbahasa pengantar Bahasa Inggris) dengan basis pengajaran mandiri. Anak saya sekarang juga berkembang, belajar dengan sangat mandiri, menemukan jati dirinya , karena tidak dibandingkan, dan dihargai pendapatnya. Nilainya tak sebagus kakaknya, namun ternyata itu bagian dari strateginya. Hidupnya santai dan nyaman.
Saat ini si adik sudah lulus dari senior high school versi Australia, tetapi karena dia ingin masuk fakultas kedokteran, dia mengikuti persiapan ujian nasional. Si adik sudah diterima di fakultas kedokteran swasta pada gelombang pertama. Keduanya sekarang bekerja sama dengan baik, membantu saya praktek di rumah, yang baru saja saya rintis kembali setahun ini.
Mengapa pada judul saya tulis juga ”kepatutan yang berlaku”? Ibu Illah mencontohkan, saat ini bila kita duduk dengan kaki di meja, sambil bicara dengan mahasiswa, seperti di negaranya Pak Bush, sangat tidak patut di mata kita. Saya bekerja juga di rumah sakit BUMN. Yang saya senangi adalah keramahan yang terasa (saat saya awal masuk). Ucapan selamat pagi, siang, ataupun malam, terus di ucapkan dengan senyum, berapa kali pun berjumpa di lorong rumah sakit. Namun saya amati (dan juga yang bersama saya sejak tempo dulu), kini, tak ada senyum dan tegur sapa se-intense dulu lagi.
Saya tidak menyimak dengan baik kasus NewsDotCom MetroTV , tetapi contoh yang dikemukakan semalam (Minggu, 4 Maret 2007), : George Bush, yang dikenal arogan tidak apa-apa di-parodi-kan. Jadi NewsDotCom MetroTV minta Presiden RI, SBY terima saja di-parodi-kan. Berarti yang diterapkan di sini adalah ukuran kepatutan versi Amerika.
Nah, bagaimana pengalaman anda? Mau berbagi dengan saya ? Komentar anda saya tunggu ya..
No comments:
Post a Comment